Alamat : Jalan Hamzanwadi Bunut Baok Rensing Desa Rensing Kec. Sakra Barat 83671 Kab. Lombok Timur Nusa Tenggara Barat. HP. 081 803 662 780 Email : ponpesbirrulwalidain@gmail.com

Senin, 03 Januari 2011

STRUKTUR PENGURUS YAYASAN PONDOK PESANTREN BIRRUL WALIDAIN NW RENSING TH 2008-2013

Dewan Pendiri :       1. TGH.M Yusuf Makmun

                                    2.  Ust. H.M. Zulfadli, S.PdI

                                    3.  H. Kamaluddin Syahdi

                                    4.  Nasruddin Ma'shum, SP

                                    5.  H. Rumawang

Dewan Penasehat :  1. Ketua Pengurus Cabang NW Kec. Sakra Barat

                                    2. Ketua Pengurus Anak Cabang NW Desa Rensing

 

Dewan Pembina  : TGH.M Yusuf Makmun

 

Ketua Umum                                                : Ust H.M Zulfadli, S.PdI

Ketua I (Pendidikan&Organisasi)             : H.Lalu Salman, S.Pd

Ketua II ( Dakwah dan Sosial )                  : H.Halil Amrullah

Ketua III (Dana dan Humas)                       : Drs. H. Muh. Fadil

Sekretaris Umum                                         : Nuruddin, S.Pd

Sekretaris I                                                    : Muh. Amin, S.Pd

Sekretaris II                                                   : Muslihin, S.Pd

Sekretaris III                                                  : H. Muhsin,S.Pd.I

Bendahara                                                    : H. Musa

Wakil Bendahara                                         : H. M. Anwar Syukri, S.Pd

 

SeksSeksi

1. Koordinator Seksi Pendidikan                                      :   Muh. Nizar, S.Pd

    Anggota                                                                             1. Supar, S.Pd

                                                                                                2. Drs. Madiah Arifandi

                                                                                                3. Suhirsan Amrullah, S.Pd

 

2 Koordinator Seksi Dakwah dan Humas                       :   H. Masban Usman, S.Ag

   Anggota                                                                              1. Drs. Syamsuddin, QH

                                                                                                2. Naharuddin, QH

                                                                                                3. Ramli Ma'shum, S.PdI

                                                                                                4. Sabaruddin Arif

 

3. Koordinator Seksi Pembangunan                               :  Drs. H. Ahmad Rosyidi, ST

    Anggota                                                                             1. Arifin, A.Md

                                                                                   

4. Koordinator Seksi Kepondokan dan Lingkungan     :  H. Saaduddin Zuhri

    Anggota                                                                             1. H. Makmun

                                                                                                2. Zulham Iswadi, A.Ma

 

5. Koordinator Seksi Dana                                                 :  H. Malikul Quddus

    Anggota                                                                             1. Atim

                                                                                                2. Amaq Suciah

                                                                                                3. Dulahir

                                                                                                4. H.M.Nur

                                                                                                5. H. Akhyar Rosyidi

BIOGRAFI KHULAFAURRASYIDIN

KHALIFAH

(Ar.: khalifah = wakil, pengganti atau duta).

Manusia (wakil, pengganti atau duta Tuhan di muka bumi); pengganti Nabi Muhammad SAW dalam fungsinya sebagai kepala negara. Al-Qur'an menyebut kata khalifah dalam dua ayat, yakni surah al-Baqarah ayat 30 dan surah Sad ayat 26.

Dalam konsep Islam, manusia adalah khalifah, yakni sebagai wakil, pengganti atau duta Tuhan di muka bumi. Dengan kedudukannya sebagai kha­lifah Allah SWT di muka bumi, manusia akan dimintai tanggung jawab di hadapan-Nya tentang bagaimana ia melaksanakan tugas suci kekhalifahan itu. Oleh sebab itu dalam melaksanakan tanggung jawab itu manusia dilengkapi dengan berbagai potensi, seperti akal pikiran yang akan memberikan kemampuan bagi manusia berbuat demikian.

Dengan akal pikiran, manusia mempunyai ke­mampuan mengolah dan memanfaatkan alam semesta ini untuk dirinya dan bertanggung jawab di hadapan-Nya tentang bagaimana ia melaksanakan tugas suci kekhalifahannya. Dengan konsepsi ini manusia diharapkan untuk senantiasa memperhatikan amal perbuatannya sendiri sedemikian rupa, sehingga amal perbuatan itu dapat dipertanggung-jawabkan di hadapan pengadilan Ilahi kelak. De­ngan demikian manusia sebagai makhluk moral selamanya dituntut untuk mempertimbangkan kegiatan hidupnya dalam kriteria baik dan buruk.

Kata khalifah juga mengandung makna peng­ganti Nabi Muhammad SAW dalam fungsinya se­bagai kepala negara, yaitu pengganti Nabi SAW dalam jabatan kepala pemerintahan dalam Islam, baik untuk urusan agama maupun urusan dunia.

Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa hukum mengangkat khalifah bagi umat Islam ada­lah wajib, yang jika diabaikan maka semua umat Islam akan terkena dosanya. Sebaliknya, kalangan Muktazilah dan Khawarij berpendapat bahwa pengangkatan khalifah tidak wajib, baik menurut penilaian akal maupun menurut penilaian syarak (hukum Islam). Yang wajib bagi mereka adalah menegakkan syarak. Kalau umat sudah berjalan di atas keadilan dan hukum-hukum Allah SWT telah dilaksanakan, maka tidak perlu ada imam atau khalifah dan begitu pula tidak wajib membentuknya.

Sebutan khalifah yang berarti pengganti Nabi SAW dalam urusan agama dan dunia kemudian berkembang ke arah arti yang lebih luas. Ini bermula dari Abu Bakar RA yang sebagai khalifah pertama menyebut dirinya khalifat Rasul Allah (pengganti Rasulullah SAW). Selanjutnya Umar bin Khattab, sebagai khalifah kedua, menyebut dirinya khalifat khalifat Rasul Allah (pengganti dari pengganti Rasulullah SAW). Khalifah ketiga, Usman bin Affan, karena sebutannya akan teramat panjang, cukup disebut khalifah. Mulai sejak itu sebutan khalifah dipakai secara populer. Sebutan tersebut terus berlaku sampai ke masa Ali bin Abi Talib.

Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, makna kata khalifah berkembang menjadi khalifat Allah (wakil Tuhan) di muka bumi, bukan lagi dalam arti khalifat Rasul Allah (wakil Rasulullah SAW). Kemudian pada masa Dinasti Abbasiyah, kata khalifah sudah mengandung makna yang menggambarkan kedudukan yang kudus, yakni zill Allah fi al-ard (bayang-bayang Allah SWT di permukaan bumi). Kata-kata tersebut mengandung arti bahwa khalifah memperoleh kekuasaan dari Allah SWT sebagai pemegang kedaulatan mutlak.

Khalifah menjadi lambang kesatuan umat Islam. Dunia Islam bersatu di bawah kepemimpinan kha­lifah. Di kalangan Suni, khalifah disyaratkan berasal dari suku Kuraisy. Namun ketika etnis Kuraisy tidak lagi dapat ditemukan, persyaratan itu menjadi hilang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ABU BAKAR AS-SIDDIQ

(573-22 Jumadilakhir 13/23 Agustus 634).

Khalifah pertama dari al-Khulafa' ar-Rdsyidun, sahabat Nabi SAW yang terdekat, dan termasuk di antara orang-orang yang pertama masuk Islam (as-sabiqun al-awwalun). Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Abi Kuhafah at-Tamimi. Pada masa kecilnya Abu Bakar bernama Abdul Ka'bah. Nama ini diberikan kepadanya sebagai realisasi nazar ibunya sewaktu mengandungnya. Kemudian nama itu ditukar oleh Nabi SAW menjadi Abdullah. Gelar Abu Bakar diberi­kan Rasulullah SAW karena ia seorang yang paling cepat masuk Islam, sedang gelar as-Siddiq yang berarti 'amat membenarkan' adalah gelar yang di­berikan kepadanya karena ia amat segera mem­benarkan Rasulullah SAW dalam berbagai macam peristiwa, terutama peristiwa Isra Mikraj.

Ayahnya bernama Usman (juga disebut Abi Kuhafah) bin Amir bin Amr bin Sa'd bin Taim bin Murra bin Ka'ab bin Lu'ayy bin Talib bin Fihr bin Nadr bin Malik. Ibunya bernama Ummu Khair Salma binti Sakhr yang berasal dari keturunan Kuraisy. Garis keturunan ayah dan ibunya bertemu pada neneknya yang bernama Ka'b bin Sa'd bin Taim bin Murra. Kedua orang-tuanya berasal dari suku Taim, suku yang melahirkan banyak tokoh terhormat.

Sejak kecil ia dikenal sebagai anak yangbaik dan sabar, jujur, dan lemah lembut. Sifat-sifat yang mulia itu membuat ia disenangi dalam masyarakat. la menjadi sahabat Nabi SAW sejak keduanya masih remaja. Setelah dewasa ia mencari nafkah dengan jalan berdagang. Sebagai pedagang ia dikenal amat jujur, berhati suci, dan sangat dermawan.

Di samping itu, Abu Bakar dikenal mahir dalam ilmu nasab (pengetahuan mengenai silsilah keturunan). la menguasai dengan baik berbagai nasab kabilah dan suku-suku Arab, bahkan juga dapat mengetahui ketinggian dan kerendahan derajat masing-masing dalam bangsa Arab, terlebih lagi suku-suku Arab Kuraisy.

Abu Bakar masuk Islam pada hari-hari pertama Islam didakwahkan. Tidak sulit baginya meyakini ajaran-ajaran yang disampaikan Nabi SAW karena sejak muda ia sudah kenal betul akan keagungan Nabi Muhammad SAW. Setelah masuk Islam, ia menumpahkan seluruh perhatiannya untuk pengembangan Islam. la merupakan sahabat yang paling banyak mendermakan harta bendanya bagi kepentingan dakwah Islam. Sebagai seorang yang disegani di kalangan bangsawan Arab, keislaman Abu Bakar membuat banyak orang Arab Kuraisy tertarik masuk Islam, seperti Usman bin Affan, Abdur Rahman bin Auf, dan Zubair bin Awwam.

Di antara Abu Bakar dan Nabi SAW terjalin hubungan persahabatan yang sangat erat karena selain diikat oleh tali persaudaraan seiman, juga karena salah seorang putri Abu Bakar, Aisyah RA, menjadi istri Nabi SAW. Dengan kata lain Nabi SAW adalah menantu Abu Bakar.

Banyak peristiwa yang menggambarkan betapa kecintaan Abu Bakar kepada Nabi SAW. Setiap kali Abu Bakar melihat Nabi SAW diganggu dan disakiti oleh orang-orang kafir Kuraisy, ia selalu tampil membela Nabi SAW. Dalam suatu riwayat diceriterakan bahwa Nabi SAW sedang khusyuk melakukan salat di Masjidilharam, tiba-tiba datanglah Uqbah bin al-Muit dan langsung mencekik Nabi SAW yang sedang sujud. Hampir saja Nabi SAW berada dalam bahaya kalau tidak ada Abu Bakar yang datang menolongnya. Peristiwa lain adalah kesetiaannya mendampingi Nabi SAW da­lam perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah, suatu perjalanan yang penuh dengan risiko.

Perjuangan Abu Bakar dan darmabaktinya bagi pertumbuhan dan perkembangan Islam banyak yang dapat disebutkan. Di antaranya, ia sangat menaruh perhatian kepada penderitaan kaum lemah, khususnya para budak yang menerima dakwah Na­bi SAW. Sejumlah budak yang disiksa oleh tuannya karena mereka memeluk Islam ditebus oleh Abu Bakar dengan hartanya untuk kemudian dimerdekakan. Salah satu dari budak-budak itu adalah Bilal bin Rabah.

Dalam setiap pertempuran yang terjadi pada masa Nabi SAW, Abu Bakar tidak pernah absen, melainkan selalu berada dekat Nabi SAW. Dalam peperangan Tabuk bukan hanya jiwa yang dipertaruhkannya, tetapi juga seluruh harta bendanya habis dikorbankan untuk memenangkan perjuangan Islam.

Ketika kota Mekah berhasil ditundukkan, umat Islam bersiap-siap menunaikan ibadah haji tahun berikutnya. Karena kesibukan di Madinah, Nabi SAW tidak dapat memimpin jemaah haji, sebagai wakilnya beliau menunjuk Abu Bakar. Dalam ba­nyak kesempatan Abu Bakar sering dipercayakan Nabi SAW untuk mewakili dirinya. Rasulullah SAW telah memberikan kedudukan yang tinggi kepada Abu Bakar, bahkan lebih tinggi daripada sekian banyak sahabat yang lain. Ini terbukti pada saat Rasulullah SAW uzur (berhalangan), tidak dapat mengimami salat di Masjid Madinah, Nabi SAW menunjuk Abu Bakar untuk menggantikannya sebagai imam salat.

Abu Bakar juga berhasil membina putra-putrinya menjadi penganut Islam yang rela berkorban untuk kepentingan Islam. Di antaranya yang terkenal dalam sejarah adalah kedua putrinya, Aisyah RA dan Asma, sedang putranya adalah Abdur Rahman dan Abdullah.

Setelah Rasulullah SAW wafat tahun 632, Abu Bakar terpilih sebagai khalifah pertama pengganti Rasulullah SAW dalam memimpin negara dan umat Islam. Waktu itu, daerah kekuasaan Islam hampir mencakup seluruh Semenanjung Arabia yang terdiri atas berbagai suku Arab. Ada dua faktor utama yang mendasari terpilihnya Abu Bakar sebagai khalifah, yaitu: 1) menurut pendapat umum yang ada pada zaman itu, seorang khalifah (pemimpin) haruslah berasal dari suku Kuraisy; pendapat ini didasarkan pada hadis yang berbunyi al-a'immah mm Quraisy (kepemimpinan itu di tangan orang Kuraisy); 2) sahabat sependapat tentang ketokohan pribadi Abu Bakar sebagai khalifah kare­na beberapa keutamaan yang dimilikinya, antara lain ia adalah laki-laki dewasa pertama yang me­meluk Islam, ia satu-satunya sahabat yang menemani Nabi SAW pada saat hijrah dari Mekah ke Madinah dan ketika bersembunyi di Gua Sur, ia yang ditunjuk Rasulullah SAW untuk mengimami salat pada saat beliau sedang uzur, dan ia keturunan bangsawan, cerdas, dan berakhlak mulia. Sebagai khalifah, Abu Bakar mengalami dua kali dibaiat. Pertama di Saqifah Bani Sa'idah yang dikenal dengan bai'ah khassah dan kedua di Masjid Nabi (Masjid Nabawi) di Madinah yang dikenal dengan bai'ah 'ammah.

Seusai acara pembaiatan di Masjid Nabi di Ma­dinah, Abu Bakar sebagai khalifah yang baru terpilih berdiri dan mengucapkan pidato. la memulai pidatonya dengan menyatakan sumpah kepada Allah SWT dan menyatakan ketidakberambisiannya untuk menduduki jabatan khalifah tersebut. Abu Bakar selanjutnya mengucapkan, "Saya telah terpilih menjadi pemimpin kamu sekalian meskipun saya bukan orang yang terbaik di antara kalian. Karena itu, bantulah saya seandainya saya berada di jalan yang benar dan bimbinglah saya seandainya saya berbuat salah. Kebenaran adalah kepercayaan dan kebohongan adalah pengkhianatan. Orang yang lemah di antara kalian akan menjadi kuat dalam pandangan saya hingga saya menjamin hak-haknya seandainya Allah menghendaki dan orang yang kuat di antara kalian adalah lemah dalam pandangan saya sehingga saya dapat merebut hak daripadanya. Taatilah saya selama saya taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan bila saya mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, janganlah ikuti saya."

Masa awal pemerintahan Abu Bakar diwarnai dengan berbagai kekacauan dan pemberontakan, seperti munculnya orang-orang murtad, aktifnya orang-orang yang mengaku diri nabi, pemberon­takan dari beberapa kabilah Arab dan banyaknya orang-orang yang ingkar membayar zakat. Muncul­nya orang-orang murtad disebabkan oleh keyakinan mereka terhadap ajaran Islam belum begitu mantap, dan wafatnya Rasulullah SAW menggoyahkan keimanan mereka. Tentang orang-orang yang mengaku diri nabi sebenarnya telah ada sejak masa Rasulullah SAW, tetapi kewibawaan Rasulul­lah SAW menggetarkan hati mereka untuk melancarkan aktivitasnya. Mereka mengira bahwa Abu Bakar adalah pemimpin yang lemah sehingga me­reka berani membuat kekacauan. Pemberontakan kabilah disebabkan oleh anggapan mereka bahwa perjanjian perdamaian yang dibuat bersama Nabi SAW bersifat pribadi dan berakhir dengan wafat­nya Nabi SAW sehingga mereka tidak perlu lagi taat dan tunduk kepada penguasa Islam yang baru. Orang-orang yang ingkar membayar zakat hanyalah karena kelemahan iman mereka. Terhadap semua golongan yang membangkang dan memberontak itu Abu Bakar mengambil tindakan tegas. Ketegasan ini didukung oleh mayoritas umat. Untuk menumpas seluruh pemberontakan, ia membentuk sebelas pasukan, masing-masing dipimpin oleh panglima perang yang tangguh, seperti Khalid bin Walid, Amr bin As, Ikrimah bin Abu Jahal, dan Syurahbil bin Hasanah. Dalam waktu singkat se­luruh kekacauan dan pemberontakan yang terjadi dalam negeri dapat ditumpas dengan sukses.

Meskipun fase permulaan dari kekhalifahan Abu Bakar penuh dengan kekacauan, ia tetap berkeras melanjutkan rencana Rasulullah SAW untuk mengirim pasukan ke daerah Suriah di bawah pimpinan Usamah bin Zaid. Pada mulanya, keinginan Abu Bakar ditentang oleh sahabat dengan alasan suasana dalam negeri sangat memprihatinkan akibat berbagai kerusuhan yang timbul. Akan tetapi, setelah ia meyakinkan mereka bahwa itu adalah rencana Rasulullah SAW, akhirnya pengiriman pa­sukan itu pun disetujui.

Langkah politik yang ditempuh Abu Bakar itu ternyata sangat strategis dan membawa dampak yang sangat positif. Pengiriman pasukan pada saat negara dalam keadaan kacau menimbulkan interpretasi di pihak lawan bahwa kekuatan Islam cukup tangguh sehingga para pemberontak menjadi gentar. Di samping itu, langkah ini juga merupakan taktik untuk mengalihkan perhatian umat Islam da­ri perselisihan yang bersifat intern. Pasukan Usa­mah berhasil menunaikan tugasnya dengan gemilang dan kembali dengan membawa harta rampasan perang yang berlimpah.

Sebagai usaha berikutnya, ia melakukan perluasan wilayah Islam ke luar Jazirah Arab. Daerah yang dituju adalah Irak dan Suriah yang berbatasan langsung dengan wilayah kekuasaan Islam. Abu Bakar berpendapat bahwa daerah itu harus ditak-lukkan untuk memantapkan keamanan wilayah Islam dari serbuan dua adikuasa, Persia dan Bizantium. Ekspansi ke Irak dipimpin panglima Khalid bin Walid, ke Suriah dipimpin oleh tiga panglima, yaitu Amr bin As, Yazid bin Abu Sufyan, dan Syu­rahbil bin Hasanah. Pasukan Khalid dapat menguasai al-Hirah pada tahun 634. Akan tetapi, tentara Islam yang menuju Suriah, kecuali pasukan Amr bin As, mengalami kesulitan karena pihak lawan, yaitu tentara Bizantium, mempunyai kekuat­an yangjauh lebih besar dan perlengkapan perangnya jauh lebih sempurna. Untuk membantu pa­sukan Islam di Suriah, Abu Bakar memerintahkan Khalid bin Walid segera meninggalkan Irak menuju Suriah dan kepadanya diserahi tugas memimpin seluruh pasukan. Khalid mematuhi perintah AbuBakar dan berhasil memenangkan pertempuran. Kemenangan itu tidak dapat disaksikan oleh khalifah karena ketika peperangan sedang berkecamuk, Abu Bakar jatuh sakit dan tidak berapa lama kemudian meninggal.

Selain usaha memperluas wilayah ke luar Semenanjung Arabia, Khalifah Abu Bakar juga melakukan pengumpulan ayat-ayat Al-Qur'an yang selama ini berserakan di berbagai tempat. Usaha ini dilakukan atas saran Umar bin Khattab. Pada mulanya ia agak berat melaksanakan tugas ini karena belum pernah dilakukan pada masa Nabi SAW. Akan tetapi, Umar mengemukakan alasan banyaknya sahabat penghafal Al-Qur'an yang gugur di medan pertempuran dan dikhawatirkan akan habis seluruhnya. Abu Bakar pun dapat menyetujuinya. Selanjutnya ia menugaskan kepada Zaid bin Sabit, penulis wahyu pada masa Rasulullah SAW, untuk mengerjakan tugas pengumpulan itu.

Dalam nienjalankan tugasnya sebagai kepala negara dan pemimpin umat Islam, Abu Bakar senantiasa meneladani perilaku Rasulullah SAW. Prinsip musyawarah dalam pengambilan keputusan, seperti yang dijalankan Nabi SAW, selalu dipraktekkannya. Ia sangat memperhatikan keadaan rakyatnya dan tidak segan-segan membantu mereka yang kesulitan. Terhadap sesama sahabat, perhatiannya ju­ga sangat besar. Sahabat yang telah menduduki suatu jabatan pada masa Nabi SAW tetap dibiarkan pada jabatannya, sedangkan sahabat lain yang belum mendapatkan jabatan dalam pemerintahan juga diangkat berdasarkan kemampuan dan keterampilan yang dimilikinya.

Untuk meningkatkan kesejahteraan umum, Abu Bakar membentuk lembaga Bait al-Mal, semacam kas negara atau lembaga keuangan. Pengelolaannya diserahkan kepada Abu Ubaidah, sahabat Nabi yang digelari amin al-'ummah (kepercayaan umat). Selain itu didirikan pula lembaga peradilan yang ketuanya dipercayakan kepada Umar bin Khattab. Kebijaksanaan lain yang ditempuh Abu Bakar adalah membagi sama rata hasil rampasan perang (ganimah). Dalam hal ini, ia berbeda pendapat dengan Umar bin Khattab yang menginginkan pembagian dilakukan berdasarkan jasa tiap-tiap sahabat. Alasan yang dikemukakan Abu Bakar adalah semua perjuangan yang dilakukan atas nama Islam akan mendapat balasan pahala dari Allah SWT di akhirat. Karena itu, biarlah di dunia mereka mendapat bagian yang sama.

Persoalan besar yang sempat diselesaikan Abu Bakar sebelum wafat adalah menetapkan calon khalifah yang akan menggantikannya. Dengan demikian, ia telah mempersempit peluang bagi timbulnya pertikaian di antara umat Islam mengenai jabatan khalifah. Dalam menetapkan calon penggantinya, Abu Bakar tidak memilih anak atau kerabatnya yang terdekat, melainkan memilih orang lain yang secara obyektif dinilai mampu mengemban amanah dan tugas sebagai khalifah, yaitu sa­habat Umar bin Khattab. Pilihan itu tidak segera diputuskannya sendiri, tetapi dimusyawarahkannya terlebih dahulu dengan sahabat-sahabat besar. Setelah disepakati, barulah ia mengumumkan calon khalifah itu.

Abu Bakar dengan masa pemerintahannya yang amat singkat (kurang lebih dua tahun) telah ber­hasil mengatasi tantangan-tantangan dalam negeri Madinah yang baru tumbuh itu, dan juga menyiapkan jalan bagi perkembangan dan perluasan Islam di luar Semenanjung Arabia.

UMAR BIN KHATTAB

(581 M-26 Zulhijah 23/3 Nov 644).

Sahabat Nabi SAW terdekat dan khalifah kedua al-Khulafa' ar-Rasyidun. Ayahnya bernama Khattab bin Nufail al-Mahzumi al-Qurajsyi dari suku Adi. Ibunya bernama Hantamah binti Hasyim. Suku Adi terpandang mulia dan mempunyai martabat tinggi di kalangan Arab. Suku ini masih termasuk rumpun Kuraisy.

 Umar mempunyai postur tubuh yang tegap dan kuat, wataknya keras, berani, dan berdisiplin tinggi. Pada masa remajanya, dia dikenal sebagai pegulat perkasa dan sering menampilkan kemampuannya itu dalam pesta tahunari pasar Ukaz di Mekah. la memiliki kecerdasan yang luar biasa, mampu memprakirakan hal-hal yang akan terjadi pada masa yang akan datang. Tutur bahasanya halus dan bicaranya fasih. Kelebihan-kelebihan yang dimilikinya itu mengantarkannya terpilih menjadi wakil kabilahnya. la selalu diberi kepercayaan sebagai utusan mewakili kabilah Kuraisy dalam melakukan perundingan-perundingan dengan suku-suku lain. Keunggulannya berdiplomasi membuatnya populer di kalangan berbagai suku Arab.

Nabi SAW mengakui keunggulan-keunggulan yang dimiliki Umar, pemuda yang gagah berani, tidak mengenai takut dan gentar, dan mempunyai ketabahan dan kemauan keras. Oleh karena itu, untuk kepentingan perjuangan Islam, Nabi SAW pernah berkata, "Ya Allah, kuatkanlah Islam dengan salah seorang dari Amr bin Hisyam atau Umar bin Khattab." Doa Nabi SAW diperkenankan Allah SWT dengan Islamnya Umar sekitar tahun 616.

Sebelumnya, Umar dikenal sebagai salah se­orang tokoh Arab Kuraisy yang paling gigih menentang seruan Nabi SAW. Ketika disampaikan kepadanya bahwa adiknya, Fatimah, beserta suaminya telah memeluk Islam, ia mendadak menjadi geram dan sangat murka. Tanpa menunggu lebih lama ia segera pergi ke rumah adiknya. Sesampainya di sana, ia mendapati adik, ipar, dan beberapa orang muslim sedang mempelajari Al-Qur'an. Begitu melihat Umar, mereka semua lalu terdiam membisu dan tidak berani bergerak sedikit pun. Dengan emosi yang meluap-luap Umar menampar adiknya. Suaminya pun tak terelakkan dari pukulan Umar. Di puncak kemarahannya, mata Umar menangkap sebuah lembaran yang bertuliskan ayat-ayat Al-Qur'an. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang dan hatinya menjadi ciut. Dengan tangan bergetar dipungutnya lembaran itu, lalu dibacanya ayat-ayat Al-Qur'an yang tertera di situ. Menurut sebagian riwayat, yang tertera dalam lem­baran itu adalah beberapa ayat dari permulaan su­rah Taha. Setelah membaca ayat-ayat itu, perasaannya menjadi tenang, dan rasa damai menyelinap di hatinya. Timbul keinginan kuat untuk segera menemui Rasul SAW. la pun segera meninggalkan rumah adiknya menuju rumah al-Arqam di mana Nabi SAW sedang menyampaikan dakwah secara sembunyi-sembunyi.

Sesampainya di rumah al-Arqam, Umar segera mengetuk pintu. Mengetahui yang datang adalah Umar, sahabat-sahabat yang sedang bersama Nabi SAW menjadi gentar dan ketakutan, kecuali Hamzah bin Abdul Muttalib, paman Nabi SAW yang dikenal sebagai seorang yang gagah berani. Nabi SAW menyuruh membuka pintu dan mempersilakan Umar masuk. Melihat sikap Nabi SAW yang sangat lembut dan bijaksana, Umar merasa kecil di hadapannya. Sambil menggenggam leher baju Umar, Nabi SAW berkata dengan suara keras, "Islamlah engkau, wahai Ibnu Khattab!" Umar pun lalu mengucapkan dua kalimat syahadat, sebagai tanda ia telah masuk Islam.

Masuk Islamnya Umar segera diikuti oleh putra sulungnya, Abdullah, dan isterinya, Zainab binti Maz'un. Selain itu, keislaman Umar membuka jalan bagi tokoh-tokoh Arab lainnya masuk Islam. Sejak saat itu, berbondong-bondonglah orang masuk Islam sehingga dalam waktu singkat pengikut Islam bertambah dengan pesatnya.

Umar telah membawa cahaya terang dalam per­mulaan perjuangan Islam. Dakwah Islam, yang semula dijalankan secara rahasia dan sembunyi-sem­bunyi, kini disiarkan secara terang-terangan. Umar menjadi pembela dan pelindung umat Islam dari segala gangguan. Ibnu Asir mengungkapkan bahwa Abdullah bin Mas'ud berkata, "Islamnya Umar adalah suatu kemenangan, hijrahnya adalah suatu pertolongan, dan pemerintahannya adalah rahmat. Semula, umat Islam tidak berani mengerjakan salat dengan terang-terangan, takut dianiaya oleh kafir Kuraisy, tetapi setelah itu mereka dapat beribadah dengan leluasa tanpa merasa tertekan." Umar telah menunjukkan kesetiaan dan pengabdiannya tanpa pamrih demi kejayaan Islam, seolah-olah ia hendak menebus segala kesalahan dan dosa yang diperbuatnya pada masa jahiliah.

Setelah Islam, Umar menjadi salah seorang sahabat Nabi SAW terdekat. Begitu dekatnya, sampai Nabi SAW pernah berkata, "Andaikata masih ada nabi sesudahku, Umarlah orangnya." la juga digelari oleh Nabi SAW dengan al-Faruq, artinya pembeda/pemisah. Maksudnya, Allah telah memisahkan dalam dirinya antara yang hak dan yang batil. Hanya Umar yang begitu berani mengemukakan pikiran-pikiran dan pendapatnya di hadapan Nabi SAW, bahkan ia juga tidak segan menyam­paikan kritik untuk kebaikan dan kemaslahatan umat Islam. Diriwayatkan, pada suatu ketika ia ber­sama Nabi SAW berada di dekat Ka'bah, Nabi SAW lalu menunjukkan kepadanya makam Ibra­him. Seketika Umar bertanya apakah di situ boleh dilakukan salat? Nabi SAW menjawab bahwa hal itu belum diperintahkan. Lalu hari itu juga turun wahyu yang membolehkan salat di makam Ibrahim itu. Pada saat lain Umar mengusulkan kepada Nabi SAW agar memerintahkan isteri-isterinya menggunakan hijab (tirai), maksudnya agar berbicara de­ngan tamu-tamunya dari belakang hijdb sebab menurut Umar, yang berbicara dengan mereka bukan semuanya orang baik-baik melainkan ada juga orang jahat. Tidak lama kemudian turunlah ayat tentang hijab yang membenarkan pendapat Umar itu.

Umar juga banyak menengahi perselisihan yang terjadi di kalangan isteri-isteri Nabi SAW. Pandangan yang jauh ke depan, keluwesan, dan keadilannya membuat orang senang menerima pendapatnya. Hal ini juga terlihat ketika Rasulullah SAW wafat dan timbul perselisihan antara kaum Ansar dan Muhajirin di Saqifah mengenai pengganti Rasulullah SAW. Umar dengan tangkasnya melerai perselisihan.

Ketegasan dan keberanian Umar merupakan kekuatan besar dalam upaya mengembangkan Islam selanjutnya sehingga bukan hanya Nabi SAW yang menaruh simpati dan kepercayaan yang besar kepadanya, melainkan juga para sahabat, khususnya Abu Bakar. Pada masa pemerintahannya, Umar selalu diangkat sebagai penasihat sekaligus hakim dalam menangani permasalahan-permasalahan hukum yang timbul ketika itu. Kemampuan Umar dalam memecahkan berbagai problema hu­kum yang dihadapkan kepadanya meyakinkan Abu Bakar untuk mengangkatnya sebagai khalifah kelak.

Umar adalah orang pertama yang mencetuskan ide tentang perlunya dilakukan pengumpulan ayat-ayat Al-Qur'an. Ketika itu ayat-ayat Al-Qur'an tersebar di berbagai lempengan batu, pelepah kurma, tulang-belulang, dan sebagainya. Tempatnya pun berserakan di tangan para sahabat, tidak terkumpul dalam satu tempat. Pada masa Nabi SAW cukup banyak sahabat yang menghafal Al-Qur'an seluruhnya sehingga mengumpulkan tulisan-tulisan Al-Qur'an belum dirasa perlu. Akan tetapi, pada masa Khalifah Abu Bakar terjadi banyak peperangan yang di dalamnya gugur banyak sahabat penghafal Al-Qur'an. Dalam Perang Yamamah saja 70 orang penghafal Al-Qur'an yang gugur. Oleh karena itu, Umar khawatir para penghafal Al-Qur'an akan habis. Dengan alasan itu, ia mengusulkan kepada Abu Bakar agar segera dikumpulkan semua tulisan ayat-ayat Al-Qur'an. Pada mulanya Abu Bakar keberatan menerima usul Umar karena Nabi SAW tidak pernah melakukan hal serupa, namun atas desakan Umar usul itu pun disetujuinya. Abu Bakar lalu mempercayakan tugas pengumpulan itu kepada Zaid bin Sabit, penulis wahyu pada masa Rasulullah SAW.

Sebelum wafat, Abu Bakar memanggil beberapa orang sahabat besar untuk dimintai pendapatnya tentang rencana penunjukan khalifah yang akan menggantikannya. Umar merupakan calon tunggal Abu Bakar dan para sahabat dapat menyetujui pilihan Abu Bakar. Demikianlah tercatat dalam sejarah, pada tahun 13 H/634 M Umar dibaiat menjadi khalifah menggantikan Abu Bakar. Dialah khalifah pertama dan satu-satunya yang mendapat gelar Amirulmukminin (Panglima Orang-Orang Beriman).

Sebagai khalifah, Umar dikenal sangat adil da­lam menjalankan pemerintahannya. la tidak membedakan antara tuan dan budak, kaya dan miskin, dan penguasa dan rakyat jelata. Semua mendapat perlakuan yang sama. Yang salah dihukum dan yang benar dibelanya. Banyak didapati riwayat yang disampaikan Anas bin Malik, bahwa suatu ketika ia sedang duduk bersama Umar. Lalu datang seorang penduduk Mesir mengadukan perihal kezaliman Amr bin As, gubernur Mesir. Dengan serta merta Umar mengirim surat kepada Amr bin As agar segera menghadap Umar di Madinah. Setelah Amr datang, ia pun diadili dan ternyata bersalah. Umar lalu menyuruh penduduk yang teraniaya itu membalas sesuai dengan perlakuan yang diterimanya.

Meskipun telah menjadi khalifah, Umar tetap dekat dengan rakyatnya. Diceritakan bahwa setiap malam ia pergi berkeliling mengamati keadaan rakyatnya. Ia khawatir kalau-kalau ada di antara mereka yang mengalami kesulitan seperti sakit atau kelaparan. Bila ditemukan, ia tidak segan memberikan bantuan langsung, bahkan sering dijumpai Umar mengangkat sendiri bahan makanan untuk orang-orang yang memerlukannya.

Umar juga sangat takut mengambil harta kaum muslimin tanpa alasan yang kuat. la berpakaian sangat sederhana, bahkan tidak pantas untuk dipakai oleh seorang pembesar seperti dia. Umar meneladani perilaku Rasulullah SAW dalam seluruh aspek kehidupannya. Prinsip hidup sederhana juga diterapkan Umar di lingkungan keluarganya. Istri dan anak-anaknya dilarang menerima pemberian dalam bentuk apa pun dari para pembesar maupun dari rakyatnya.

Di bidang pemerintahan, langkah pertama yang dilakukan Umar sebagai khalifah adalah meneruskan kebijaksanaan yang telah ditempuh Abu Bakar dalam perluasan wilayah Islam ke luar Semenanjung Arabia. Pada masanya terjadi ekspansi kekuasaan Islam secara besar-besaran sehingga periode ini lebih dikenal dengan nama periode Futuhat al-Islamiyyah (perluasan wilayah Islam). Berturut-turut pasukan Islam berhasil menduduki Suriah, Irak, Mesir, Palestina, dan Persia.

Di bidang administrasi pemerintahan, Umar berjasa membentuk Majelis Permusyawaratan, Anggota Dewan, dan memisahkan lembaga pengadilan. la juga membagi wilayah Islam ke dalam 8 propinsi yang membawahi beberapa distrik dan subdistrik. Kedelapan propinsi itu adalah Mekah, Madinah, Suriah, Jazirah, Kufah, Basra, Mesir, dan Palestina. Untuk masing-masing distrik itu, diangkat pegawai khusus selaku gubernur. Gaji mereka ditertibkan. Selain itu, administrasi perpajakan juga dibenahi.

Untuk kepentingan pertahanan, keamanan, dan ketertiban dalam masyarakt, didirikanlah lembaga kepolisian, korps militer dengan tentara terdaftar. Mereka digaji yang besarnya berbeda-beda sesuai dengan tugasnya. Dia juga mendirikan pos-pos militer di tempat-tempat strategis.

Umar melakukan pembenahan peradilan Islam. Dialah yang mula-mula meletakkan prinsip-prinsip peradilan dengan menyusun sebuah risalah yang kemudian dikirimkan kepada Abu Musa al-Asy'ari. Risalah itu disebut Dustur 'Umar atau Risalah al-Qada'.

Dalam upaya meningkatkan mekanisme pemerintahan di daerah, Umar melengkapi gubernurnya dengan beberapa staf yang terdiri dari katib (sekretaris kepala), katib ad-Diwan (sekretaris pada sekretariat militer), sahib al-kharaj (pejabat per­pajakan), sahib al-ahdas (pejabat kepolisian), .sahib bait al-mal (pejabat keuangan), dan qadi (hakim dan pejabat jawatan keagamaan). Selain itu, ada staf yang langsung dikirim dari pusat.

Kebijaksanaan lain yang dilakukan Umar adalah mendaftar seluruh kekayaan pejabat yang akan dilantik. Ini ditempuh untuk menghindari terjadinya penyalahgunaan wewenang dan tindakan korupsi.

Di kalangan fukaha (ahli fikih) ia dikenal sebagai sahabat yang berani melakukan ijtihad. Meskipun demikian, ia tetap menjunjung tinggi prinsip-prinsip musyawarah. Ijtihadnya mencakup berbagai masalah kehidupan, baik dalam bidang ibadah maupun bidang-bidang kemasyarakatan lainnya. Dalam bidang peribadatan, antara lain pendapatnya mengenai empat takbir dalam salat jenazah, penyelenggaraan salat tarawih berjemaah, penambahan kalimat as-salat khaiun  mim an-naum (salat lebih baik dari tidur) dalam azan subuh. Da­lam bidang kesejahteraan umat, di antara gagasannya adalah pemberian gaji bagi para imam dan muazin (tukang azan), pengadaan lampu penerangan dalam masjid-masjid, pengorganisasian khotbah-khotbah, pendirian baitulmal, penghapusan pembagian tanah rampasan perang (fay'), pembangunan terusan dan kota-kota seperti Basra, Kufah, Fustat, dan Mosul, dan pembangunan sekolah-sekolah.

Dalam bidang hukum ijtihadnya adalah menge­nai pembagian harta warisan, perumusan prinsip kias, talak tiga, pendirian pengadilan-pengadilan, pengangkatan para hakim, pemakaian cambuk da­lam melaksanakan hukum badan, penetapan hukuman 80 kali dera bagi pemabuk, pemungutan zakat atas kuda yang diperdagangkan, dan larangan penyebutan nama-nama wanita dalam lirik syair. Penentuan kalender hijriah juga merupakan hasil ijtihad Umar yang diabadikan sampai sekarang.

Umar adalah profil seorang pemimpin yang sukses, mujtahid (ahli ijtihad) yang ulung, dan sahabat Rasulullah SAW yang sejati. Kesuksesannya dalam mengibarkan panji-panji Islam mengundang rasa iri dan dengki di hati musuh-musuhnya. Salah se­orang musuhnya, Abu Lu'lu'ah, telah mengakhiri hidupnya dengan cara yang amat tragis. la menikam Umar tatkala sedang bersiap-siap memulai salat subuh. Peristiwa ini mengakibatkan kematiannya. la wafat dalam usia 63 tahun setelah kurang lebih 10 tahun menggenggam amanat sebagai khaIifah.

USMAN BIN AFFAN

(Mekah,   576-Madinah, I 656).

Khalifah ketiga (memerintah 644-656) dan sahabat yang sangat berjasa pada periode-periode awal pengembangan Islam, baik pada saat Islam dikembangkan secara sembunyi-sembunyi maupun secara terbuka. la dijuluki juga dengan Zu an-Nurain (Memiliki Dua Cahaya) karena ia menikah dengan dua orang putri Nabi Muhammad SAW yang bernama Ruqayyah dan Ummu Kalsum.

Sebelum masuk Islam, Usman bin Affan dikenal sebagai pedagang besar dan terpandang. Kekayaannya berlimpah ruah. la memeluk Islam atas ajakan Abu Bakar as-Siddiq. Setelah memeluk Islam, dengan penuh kerelaan ia menyerahkan sebagian besar hartanya bagi kepentingan perjuangan Islam. Budak yang teraniaya oleh tangan kafir Kuraisy ditebusnya dengan hartanya. Pada saat terjadi Perang Tabuk melawan Kerajaan Byzantium, Rasulullah SAW sebagai kepala pemerintahan dan panglima pasukan merasa kekurangan dana dan makanan untuk mempertahankan diri dari serangan pasukan musuh. Masalah ini dikemukakan oleh Muhammad SAW ke hadapan para sahabatnya. Hal itu ditanggapi secara serius oleh para sahabat. Abu Bakar as-Siddiq menyumbangkan hartanya sejumlah 4.000 dinar, Umar bin Khattab menyum­bangkan setengah hartanya, sementara Usman bin Affan menanggung sepertiga pembiayaan dan dana perang.

Pengangkatan Usman bin Affan menjadi khalifah berlangsung secara baik setelah diadakan musyawarah di antara para sahabat di rumah  Abdur­rahman bin Auf. Pelantikannya dilangsungkan pada hari ketiga setelah wafatnya Umar bin Khattab.

Pemerintahan Usman bin Affan berlangsung dalam dua periode, yaitu periode 6 tahun pertama dan periode 6 tahun kedua. Periode 6 tahun per­tama ditandai oleh berbagai keberhasilan dan kejayaan, sedangkan periode 6 tahun kedua ditandai oleh perpecahan yang tergambar dalam berbagai pergolakan dan pemberontakan dalam negeri.

Perjalanan roda pemerintahan tahun-tahun per­tama dilaksanakan oleh Usman bin Affan sesuai dengan kebijaksanaan yang telah ditempuh oleh pendahulunya. Suatu pesan yang disampaikan Umar bin Khattab kepada Usman adalah bahwa wali-wali (gubernur) yang diangkat oleh Umar selama jangka waktu setahun jangan dimutasikan. Pesan ini didasarkan atas kekhawatiran akan terjadinya kegoncangan dan gangguan stabilitas keamanan dan ketenteraman bagi Khalifah sendiri.

Berdasarkan pertimbangan yang matang terhadap pesan Umar bin Khattab, Usman tetap mengukuhkan gubernur untuk wilayah Mesir, Syam (Suriah), dan Irak yang di dalamnya termasuk daerah-daerah Azerbaijan, Armenia dan beberapa daerah lain yang berpusat di kota Kufah, dan Iran yang di dalamnya tercakup daerah Khurasan dengan Basra sebagai pusat pemerintahannya. Gubernur-gubernur itu adalah Amr bin As, Mu'awiyah bin Abu Sufyan, dan Abu Musa al-Asyari.

Setelah satu tahun berlalu, pesan yang disampaikan Umar bin Khattab dipatuhi dan dilaksanakan oleh Khalifah Usman. Selanjutnya ia pun mengubah kebijaksanaannya dengan memutasikan hampir semua pejabat yang telah dikukuhkan sebelumnya. Adapun pejabat baru yang diangkat untuk menggantikan pejabat lama, kecuali yang tersebut di atas, berasal dari kaum keluarganya, Bani Umayyah. Kebijaksanaan itu mengantarkan Usman bin Affan ke suatu posisi yang tidak menguntungkan, baik bagi dirinya maupun bagi kepentingan pemerintahan Islam.

Pengangkatan beberapa pejabat yang berasal dari kaum keluarganya telah menimbulkan reaksi negatif dari masyarakat di beberapa wilayah. Reak­si tersebut tak dapat dibendung Khalifah dan pe­merintahan pusat di Madinah. Satu hal yang belum pernah terjadi pada masa dua khalifah sebelumnya adalah bahwa Usman bin Affan lebih banyak dipengaruhi oleh kaum keluarganya, khususnya Marwan bin Hakam yang diangkatnya sebagai sekretaris negara.

Sejak Usman bin Affan diangkat menjadi kha­lifah, banyak pula permasalahan kebijaksanaan perbendaharaan negara yang muncul. Menurut Usman, khalifah mempunyai wewenang menggunakan kekayaan umum untuk sesuatu yang dipandang sebagai kemaslahatan umat. Selama memangku jabatan, khalifah berhak mengurus kepentingan umum kaum muslimin. Karena itu, khalifah menggunakan kekayaan negara bagi pemenuhan kepen­tingan kemaslahatan umum, baik keluarga maupun dirinya sendiri.

Meskipun demikian, sikap kedermawanan Usman sebagai seorang saudagar kaya yang suka membantu orang lain yang dalam kesusahan, tak dapat dihentikannya sewaktu ia menjabat kepala pemerintahan. Sikap yang demikianlah yang membedakan Usman dari dua khalifah yang telah mendahuluinya.

Kebijaksanaan khalifah dalam penggunaan Baitulmal semata-mata didasarkan atas pertim­bangan ijtihadnya dan tanggung jawabnya kepada Allah SWT. Jabatan khalifah menurut suatu penilaian bukanlah amanat yang diberikan atau dipercayakan oleh orang banyak, tetapi merupakan amanat yang disampaikan Allah SWT kepada salah seorang hamba. Karena itu kebijaksanaan yang diambil haruslah sejalan dengan ketentuan Allah SWT. Disebutkan bahwa pada awal pemerintahan Abu Bakar as-Siddiq terjadi suatu peperangan yang dilancarkan oleh orang-orang murtad. Pemberontakan tersebut dapat dipadamkan oleh Kha­lifah Abu Bakar. Setelah keamanan dalam negeri benar-benar pulih, mulailah Islam bergerak ke luar Semenanjung Arabia, dari belahan Afrika utara sampai ke India. Ke mana saja Islam masuk, di situ pula Al-Qur'an ditinggalkan. Bahkan yang ditinggalkan itu bukanlah semata-mata tulisan Al-Qur'an, akan tetapi juga para penghafalnya. Tulis­an Al-Qur'an yang ditinggalkan itu beragam bentuk dan susunan surat-suratnya, bahkan beragam pula macam bacaan dialeknya. Jika bentuk bacaan dan ragam susunan Al-Qur'an tetap dipertahankan, maka akan datang malapetaka, perselisihan, dan perpecahan dalam kehidupan masyarakat muslim.

Orang yang mula-mula menaruh perhatian terhadap kemungkinan pertikaian yang terjadi di kalangan masyarakat Islam dalam hal bacaan Al-Qur'an adalah Huzaifah bin Yaman. Keadaan yang semacam ini segera disampaikan kepada Khalifah Usman agar mendapatkan penyelesaian. Adapun langkah awal yang diambil oleh Khalifah adalah meminta kumpulan naskah Al-Qur'an yang disimpan Hafsah binti Umar. Naskah ini merupakan suatu kumpulan tulisan Al-Qur'an yang berserakan pada zaman pemerintahan Abu Bakar. Khalifah Usman kemudian membentuk suatu badan atau panitia pembukuan Al-Qur'an, yang anggotanya terdiri dari Zaid bin Sabit sebagai ketua panitia dan Abdullah bin Zubair serta Abdurrahman bin Haris sebagai anggota.

Tugas yang harus dilaksanakan oleh panitia ter­sebut adalah membukukan lembaran-lembaran lepas dengan cara menyalin ulang ayat-ayat Al-Qur'an ke dalam sebuah buku yang disebut mushaf. Dalam pelaksanaannya, Usman menginstruksikan agar penyalinan tersebut harus berpedoman kepa yang) bacaan mereka yang menghafalkan Al-Qur'an. Seandainya terdapat perbedaan dalam pembacaan, maka yang ditulis adalah yang berdialek Kuraisy, karena Al-Qur'an diturunkan dalam bahasa Kuraisy (Arab).

Salinan kumpulan Al-Qur'an yang dikenal dengan nama al-Mushaf itu, oleh panitia diperbanyak sejumlah lima buah. Sebuah tetap berada di Madinah, dan empat lainnya dikirimkan ke Mekah, Suriah, Basra, dan Kufah. Semua naskah Al-Qur'an yang dikirim ke daerah-daerah itu dijadikan sebagai pedoman dalam penyalinan berikutnya di daerah masing-masing.

Naskah salinan yang ditinggalkan di Madinah disebut Mushaf al Imam. Adapun naskah yang berbeda dengan naskah al-Imam dinyatakan tidak berlaku lagi. Perbedaan bacaan Al-Qur'an masih ditemukan sampai dengan zaman sekarang, apalagi bila dihubungkan dengan adanya hadis Nabi SAW yang menyatakan bahwa Al-Qur'an dibaca dalam bentuk tujuh huruf. Hal ini ditolerir, karena bacaan-bacaan tersebut diriwayatkan secara mutawatir.

Sebagai akibat dari tindakan Usman bin Affan tersebut, di dalam masyarakat Islam hanya diperkenankan satu bentuk mushaf Al-Qur'an. Bentuk ini diakui oleh semua golongan yang ada dalam masyarakat muslim, baik Suni maupun Syiah.

Sejak diangkat sebagai semacam menteri sekretaris negara yang mengepalai ad-Dawawin (beberapa dewan), pengaruh Marwan bin Hakam terhadap kebijaksanaan Khalifah makin lama makin besar. Pada akhirnya dialah yang menjadi motor penggerak dan pemegang kekuasaan. Sebagai aki­bat dari kepercayaan besar yang diberikan Khalifah kepada Marwan, muncullah kebijaksanaan-kebijaksanaan pemerintahan yang didominasi oleh rasa kekeluargaan. Kenyataan itu tampak pada pengangkatan keluarga sendiri untuk menduduki jabatan tinggi di setiap wilayah serta pengawasan yang longgar terhadap sikap hidup mewah di kalangan para keluarga Marwan bin Hakam dan keluarga Khalifah sendiri. Hal ini melahirkan jurang pemisah yang dalam antara orang kaya dan orang miskin dalam masyarakat muslim.

Kebijaksanaan seperti itu melahirkan berbagai reaksi dalam masyarakat. Pada awalnya reaksi ter­sebut hanya dalam bentuk pembicaraan-pembicaraan sekelompok masyarakat yang merasa tidak puas. Walaupun demikian keadaan ini dari waktu-kewaktu bertambah besar wujudnya. Akhirnya, reaksi ketidaksenangan terhadap pemerintahan Usman bin Affan menjadi nyata dan berkobar di setiap daerah.

Adapun reaksi yang bersifat terbuka bermula di Irak pada tahun 30 H. Reaksi ini ditujukan kepada Panglima Walid bin Uqbah, gubernur wilayah Irak, Azerbaijan, dan Armenia. Peristiwa ini diawali oleh dijatuhinya hukuman mati terhadap tiga pemuda yang membunuh Ibnu Haisuman al-Khuzai. Hukuman mati tersebut telah mengundang kemarahan Bani Azad, keluarga pemuda yang dihukum, terhadap Walid bin Uqbah.

Sebagaimana di Irak, di Madinah juga timbul pergolakan sebagai akibat munculnya pemberitaan bahwa Khalifah Usman mundur dari kursi peme­rintahan dan akan digantikan oleh Marwan bin Ha­kam. Berita ini menimbulkan reaksi dan tanggapan kurang senang dari setiap wilayah, sehingga mun­cullah suasana yang tak terkendalikan, kecuali di wilayah Suriah yang diperintah oleh Mu'awiyah bin Abu Sufyan.

Pada tahun 35 H berangkatlah sekitar 500 orang dari Mesir menuju Mekah dengan dalih menunaikan ibadah haji. Adapun tujuan yang sebenarnya adalah mengepung pusat pemerintahan dan memaksa Khalifah untuk melepaskan jabatannya. Beriringan dengan rombongan tersebut, berangkat pula sebuah gerakan dari Kufah dengan jumlah anggota yang sama di bawah pimpinan Asham Amiri dan dari Basra dengan jumlah anggota yang sama pula. Tujuan kedua rombongan ini sama de­ngan rombongan Mesir, yakni penyerangan ter­hadap Khalifah.

Keadaan yang semacam ini memaksa Usman bin Affan untuk mengambil tindakan keras. Akan tetapi, tindakan Usman tersebut mendapat perlawanan pula dari pihak pemberontak. Rombongan dari Mesir mendapat dukungan sebagian masya­rakat muslim yang datang dari Kufah dan Basra.

Tuntutan pemberontak yang datang dari Mesir di bawah pimpinan Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq membuat keadaan tidak menentu. Me­reka menuntut Khalifah untuk menyerahkan Marwan bin Hakam atau Khalifah menyatakan diri mundur dari jabatannya. Satu tuntutan pun tidak mendapat tanggapan dari Khalifah. Pada hari keempat pengepungan pusat pemerintahan itu, terjadilah suatu peristiwa dan tragedi yang memilukan di dalam sejarah Islam. Usman bin Affan terbunuh di tangan pasukan pemberontak yang datang dari Mesir (al-Gafiki).

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

ALI BIN ABITALIB

(Mekah, 603-Kufah, 17 Ramadan 40/24 Januari 661).

Khalifah keempat (terakhir) dari al-Khulafa' ar-Rasyidiin (empat khalifah besar); orang pertama yang masuk Islam dari kalangan anak-anak, sepupu Nabi SAW yang kemudian menjadi menantunya. Ayahnya, Abu Talib bin Abdul Muttalib bin Hasyim bin Abd Manaf, adalah kakak kandung ayah Nabi SAW, Abdullah bin Abdul Muttalib. Ibunya bernama Fatimah binti As'ad bin Hasyim bin Abd Manaf. Sewaktu lahir ia diberi nama Haidarah oleh ibunya. Nama itu kemudian diganti ayahnya dengan Ali.

Ketika berusia 6 tahun, ia diambil sebagai anak asuh oleh Nabi SAW, sebagaimana Nabi SAW per­nah diasuh oleh ayahnya. Pada waktu Muhammad SAW diangkat menjadi rasul, Ali baru menginjak usia 8 tahun. la adalah orang kedua yang menerima dakwah Islam, setelah Khadijah binti Khuwailid, istri Nabi SAW. Sejak itu ia selalu bersama Rasulullah SAW, taat kepadanya, dan banyak menyaksikan Rasulullah SAW menerima wahyu. Se­bagai anak asuh Rasulullah SAW, ia banyak menimba ilmu mengenai rahasia ketuhanan maupun segala persoalan keagamaan secara teoretis dan praktis.

Sewaktu Nabi SAW hijrah ke Madinah bersama Abu Bakar as-Siddiq, Ali diperintahkan untuk tetap tinggal di rumah Rasulullah SAW dan tidur di tempat tidurnya. Ini dimaksudkan untuk memperdaya kaum Kuraisy, supaya mereka menyangka bahwa Nabi SAW masih berada di rumahnya. Ke­tika itu kaum Kuraisy merencanakan untuk membunuh Nabi SAW. Ali juga ditugaskan untuk mengembalikan sejumlah barang titipan kepada pemilik masing-masing. Ali mampu melaksanakan tugas yang penuh resiko itu dengan sebaik-baiknya tanpa sedikit pun merasa takut. Dengan cara itu Rasulul­lah SAW dan Abu Bakar selamat meninggalkan kota Mekah tanpa diketahui oleh kaum Kuraisy.

Setelah mendengar Rasulullah SAW dan Abu Bakar telah sampai ke Madinah, Ali pun menyusul ke sana. Di Madinah, ia dikawinkan dengan Fatimah az-Zahra, putri Rasulullah SAW, yang ketika itu (2 H) berusia 15 tahun.

Ali menikah dengan 9 wanita dan mempunyai 19 orang putra-putri. Fatimah adalah istri pertama. Dari Fatimah, Ali mendapat dua putra dan dua putri, yaitu Hasan, Husein, Zainab, dan Ummu Kulsum yang kemudian diperistri oleh Umar bin Khattab. Setelah Fatimah wafat, Ali menikah lagi berturut-turut dengan: 1) Ummu Bamin binti Huzam dari Bani Amir bin Kilab, yang melahirkan empat putra, yaitu Abbas, Ja'far, Abdullah, dan Usman; 2) Laila binti Mas'ud at-Tamimiah, yang melahirkan dua putra, yaitu Abdullah dan Abu Bakar; 3) Asma binti Umair al-Kuimiah, yang me­lahirkan dua putra, yaitu Yahya dan Muhammad; 4) as-Sahba binti Rabi'ah dari Bani Jasym bin Bakar, seorang janda dari Bani Taglab, yang me­lahirkan dua anak, Umar dan Ruqayyah; 5) Umamah binti Abi Ass bin ar-Rabb, putri Zaenab binti Rasulullah SAW, yang melahirkan satu anak, yaitu Muhammad; 6) Khanlah binti Ja'far al-Hanafiah, yang melahirkan seorang putra, yaitu Muhammad (al-Hanafiah); 7) Ummu Sa'id binti Urwah bin Mas'ud, yang melahirkan dua anak, yaitu Ummu al-Husain dan Ramlah; dan 8) Mahyah binti Imri' al-Qais al-Kalbiah, yang me­lahirkan seorang anak bernama Jariah.

Ali dikenal sangat sederhana dan zahid dalam kehidupan sehari-hari. Tidak tampak perbedaan dalam kehidupan rumah tangganya antara sebelum dan sesudah diangkat sebagai khalifah. Kehidupan sederhana itu bukan hanya diterapkan kepada dirinya, melainkan juga kepada putra-putrinya.

Ali terkenal sebagai panglima perang yang gagah perkasa. Keberaniannya menggetarkan hati lawan-Iawannya. la mempunyai sebilah pedang (warisan dari Nabi SAW) bernama "Zul Faqar". la turut-serta pada hampir semua peperangan yang terjadi di masa Nabi SAW dan selalu menjadi andalan pada barisan terdepan.

la juga dikenal cerdas dan menguasai banyak masalah keagamaan secara mendalam, sebagaimana  tergambar dari sabda Nabi SAW, "Aku kota ilmu pengetahuan sedang Ali pintu gerbangnya." Karena itu, nasihat dan fatwanya selalu didengar para khalifah sebelumnya. la selalu ditempatkan pada jabatan kadi atau mufti.

Ketika Rasulullah SAW wafat, Ali menunggui jenazahnya dan mengurus pemakamannya, sementara sahabat-sahabat lainnya sibuk memikirkan soal pengganti Nabi SAW. Setelah Abu Bakar terpilih menjadi khalifah pengganti Nabi SAW dalam mengurus negara dan umat Islam, Ali tidak segera membaiatnya. la baru membaiatnya beberapa bulan kemudian.

Pada akhir masa pemerintahan Umar bin Khattab, Ali termasuk salah seorang yang ditunjuk men­jadi anggota Majlis asy-Syura, suatu forum yang membicarakan soal penggantian khalifah. Forum ini beranggotakan enam orang. Kelima orang lain­nya adalah Usman bin Affan, Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa'd bin Abi Waqqas, dan Abdur Rahman bin Auf. Hasil musyawarah menentukan Usman bin Affan sebagai khalifah peng­ganti Umar bin Khattab.

Pada masa pemerintahan Usman bin Affan, Ali banyak mengeritik kebijaksanaannya yang dinilai terlalu memperhatikan kepentingan keluarganya (nepotisme). Ali menasihatinya agar bersikap tegas terhadap kaum kerabatnya yang melakukan penyelewengan dengan mengatasnamakan dirinya. Namun, semua nasihat itu tidak diindahkannya. Akibatnya, terjadilah suatu peristiwa berdarah yang berakhir dengan terbunuhnya Usman.

Kritik Ali terhadap Usman antara lain menyangkut Ubaidillah bin Umar, yang menurut Ali harus dihukum hadd (beberapa jenis hukuman dalam fikih) sehubungan dengan pembunuhan yang dilakukannya terhadap Hurmuzan. Usman juga dinilai keliru ketika ia tidak melaksanakan hukuman cambuk terhadap Walib bin Uqbah yang kedapatan mabuk. Cara Usman memberi hukuman kepada Abu Zarrah juga tidak disetujui Ali.

Usman meminta bantuan kepada Ali ketika ia sudah dalam keadaan terdesak akibat protes dan huru-hara yang dilancarkan oleh orang-orang yang tidak setuju kepadanya. Sebenarnya, ketika rumah Usman dikepung oleh kaum pemberontak, Ali memerintahkan kedua putranya, Hasan dan Husein, untuk membela Usman. Akan tetapi karena pem­berontak berjumlah besar dan sudah kalap, Usman tidak dapat diselamatkan.

Segera setelah terbunuhnya Usman, kaum muslimin meminta kesediaan Ali untuk dibaiat menjadi khalifah. Mereka beranggapan bahwa kecuali Ali, tidak ada lagi orang yang patut menduduki kursi khalifah setelah Usman. Mendengar permintaan rakyat banyak itu, Ali berkata, "Urusan ini bukan urusan kalian. Ini adalah perkara yang teramat penting, urusan tokoh-tokoh Ahl asy-Syura bersama para pejuang Perang Badr."

Dalam suasana yang masih kacau, akhirnya Ali dibaiat. Pembaiatan dimulai oleh sahabat-sahabat besar, yaitu Talhah bin Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa'd bin Abi Waqqas, dan para sahabat lainnya. Mereka diikuti oleh rakyat banyak. Pem­baiatan dilakukan pada tanggal 25 Zulhijah 33 di Masjid Madinah seperti pembaiatan para khalifah pendahulunya.

Segera setelah dibaiat, Ali mengambil langkah-langkah politik, yaitu: 1) memecat para pejabat yang diangkat Usman, termasuk di dalamnya be­berapa gubernur, dan menunjuk penggantinya; 2) mengambil tanah yang telah dibagikan Usman ke­pada keluarga dan kaum kerabatnya tanpa alasan yang benar; 3) memberikan kepada kaum muslimin tunjangan yang diambil dari baitulmal, seperti yang pernah dilakukan Abu Bakar; pemberian dilakukan secara merata tanpa membedakan sahabat yang lebih dahulu masuk Islam dan yang masuk belakangan; 4) mengatur tata laksana pemerintahan untuk mengembalikan kepentingan umat; dan 5) meninggalkan kota Madinah dan menjadikan Kufah sebagai pusat pemerintahan.

Masa pemerintahan Ali diwarnai berbagai pemberontakan. Pemberontakan pertama dilakukan oleh Talhah, Zubair dan Aisyah binti Abu Bakar. Ketiga orang ini menuntut bela atas kematian Usman. Menurut mereka, Ali bersalah karena tidak mau menghukum para pemberontak yang menewaskan Usman, bahkan Ali didukung oleh kaum pemberontak itu. Untuk melawan Ali, ketiga orang itu meminta bantuan tentara dari  Basra dan Kufah. Di kedua kota ini terdapat banyak pendukung Usman.

Ada pendapat, pemberontakan itu dilatarbelakangi oleh keinginan Talhah dan Zubair untuk merebut jabatan khalifah. Masing-masing mengharapkan rakyat memilihnya menjadi khalifah, tetapi ternyata Ali yang terpilih. Sementara itu Aisyah ikut terlibat karena diminta oleh anak angkatnya yang juga keponakannya sendiri, yaitu  Abdullah bin Zubair, yang juga berambisi menjadi khalifah.

Mendengar rencana Talhah, Zubair, dan Aisyah, Ali segera mempersiapkan pasukannya dan menyusul mereka ke Basra. Sesampai di sana Ali tidak segera menyerang, tetapi berupaya untuk berdamai dengan mereka. Dia mengirim surat ke­pada Talhah dan Zubair agar mereka mau berunding, tetapi ajakannya itu menemui kegagalan dan pertempuran dahsyat tidak dapat dielakkan. Pertempuran itu dikenal dengan "Perang Jamal (unta)" karena dalam pertempuran itu Aisyah mengendarai unta. Pertempuran ini berhasil dimenangkan Ali. Zubair dan Talhah terbunuh. Adapun Aisyah, sebagai penghormatan kepada ummul mukminin itu, dikirim kembali ke Madinah.

Pemberontakan kedua datang dari kelompok Mu'awiyah bin Abu Sufyan, kerabat dekat Usman. Di masa Usman, Mu'awiyah diangkat menjadi gubernur di Damascus. Ketika Ali terpilih menjadi khalifah, Mu'awiyah tidak membaiatnya; ia menyatakan diri membangkang dengan alasan menuntut bela atas kematian Usman.

Menghadapi pemberontakan Mu'awiyah, Ali dan pasukannya segera meninggalkan Kufah menuju Syam (kini Suriah). Mendengar kedatangan Ali dengan pasukannya, Mu'awiyah dan pasukan­nya bersiap-siap menghadang di luar kota. Kedua pasukan itu bertemu di suatu tempat yang bernama Siffin. Sebelum terjadi pertempuran, Ali menawarkan penyelesaian damai, tetapi Mu'awiyah meno-lak. Lalu berkobarlah peperangan.

Setelah peperangan berlangsung beberapa hari terlihat tanda-tanda kemenangan di pihak Ali. Pada saat Mu'awiyah dan tentaranya terdesak, penasihat Mu'awiyah yang dikenal cerdik dan licik, Amr bin As, meminta agar Mu'awiyah memerintahkan pasukannya mengangkat mushaf Al-Qur'an di ujung lembing-lembing sebagai isyarat berda­mai. Dengan demikian Mu'awiyah terhindar dari kekalahan total.

Perundingan damai berlangsung pada bulan Ra­madan 34. Setiap pihak menunjuk wakil yang akan menjadi hakim (juru penengah) dalam perundingan. Dari pihak Mu'awiyah ditunjuk Amr bin As, sedang dari pihak Ali semula diusulkan Abdullah bin Abbas, tetapi pilihan Ali itu diprotes oleh sebagian tentaranya, dengan alasan bahwa ia adalah kerabat Ali, putra pamannya. Akhirnya, dengan berat hati Ali menyetujui Abu Musa al-Asy'ari.

Kedua hakim itu mempunyai watak dan sikap yang sangat berbeda. Amr bin As dikenal pandai dalam mempergunakan siasat dan tipu muslihat, sementara Abu Musa adalah orang yang lurus, rendah hati, dan mengutamakan kedamaian.

Seusai perundingan, Abu Musa sebagai yang tertua dipersilahkan untuk berbicara lebih dahulu. Maka, sesuai dengan kesepakatan sebelumnya antara mereka berdua, Abu Musa menyatakan pemberhentian Ali dari jabatannya dan menyerahkan urusan penggantiannya kepada kaum muslimin. Tetapi ketika gilirannya tiba, Amr bin As menya­takan persetujuannya atas pemberhentian Ali dan menetapkan jabatan khalifah bagi Mu'awiyah. Amr bin As menyalahi kesepakatan semula yang dibuatnya bersama Abu Musa, yaitu masing-masing me­nyetujui pemberhentian Ali maupun Mu'awiyah, agar tidak terjadi lagi pertumpahan darah.

Peristiwa ini dikenal dengan peristiwa "tahkim" (arbitrase). Kelicikan Amr bin As dalam peristiwa itu merugikan pihak Ali dan sebaliknya menguntungkan pihak Mu'awiyah. Tetapi keputusan tahkim ini ditolak Ali ia tetap mempertahankan kedudukan sebagai khalifah sampai terbunuh pada tahun 661.

Pemberontakan ketiga datang dari Aliran Khawarij, yang semula merupakan bagian dari pasukan Ali dalam menumpas pemberontakan Mu'awiyah, tetapi kemudian keluar dari barisan Ali karena tidak setuju atas sikap Ali yang menerima tawaran berdamai dari pihak Mu'awiyah. Karena mereka keluar dari barisan Ali, mereka disebut "Khawarij" (orang-orang yang keluar). Jumlah mereka ribuan orang. Dalam keyakinan mereka, Ali adalah amirulmukminin dan mereka yang setuju untuk bertahkim telah melanggar ajaran agama. Menurut me­reka, hanya Tuhan yang berhak menentukan hukum, bukan manusia. Oleh sebab itu, semboyan mereka adalah la hukma illa bi Allah (tidak ada hukum kecuali bagi Allah). Ali dan sebagian pasukannya dinilai telah berani membuat keputusan hukum, yaitu berunding dengan lawan.

Kelompok Khawarij menyingkir ke Harurah, sebuah desa dekat Kufah. Mereka mengangkat pemimpin sendiri, yaitu Syibis bin Rub'it at-Tamimi sebagai panglima angkatan perang dan Abdullah bin Wahhab ar-Rasibi sebagai pemimpin keagamaan. Di Harurah mereka segera menyusun kekuatan untuk menggempur Ali dan orang-orang yang menyetujui tahkim, termasuk di dalamnya Mu'awiyah, Amr bin As, dan Abu Musa al-Asyari. Kegagalan Ali dalam tahkim menambah semangat mereka untuk mewujudkan maksud mereka.

Posisi Ali menjadi serba sulit. Di satu pihak, ia ingin menghancurkan Mu'awiyah yang semakin kuat di Syam; di pihak lain, kekuatan Khawarij akan menjadi sangat berbahaya jika tidak segera ditumpas. Akhirnya Ali mengambil keputusan untuk me­numpas kekuatan Khawarij terlebih dahulu, baru kemudian menyerang Syam. Tetapi tercurahnya perhatian Ali untuk menghancurkan kelompok Khawarij dimanfaatkan Mu'awiyah untuk merebut Mesir.

Pertempuran sengit antara pasukan Ali dan pa­sukan Khawarij terjadi di Nahrawan (di sebelah timur Baghdad) pada tahun 658, dan berakhir de­ngan kemenangan di pihak Ali. Kelompok Kha­warij berhasil dihancurkan, hanya sebagian kecil yang dapat meloloskan diri. Pemimpin mereka, Abdullah bin Wahhab ar-Rasibi, ikut terbunuh.

Sejak itu, kaum Khawarij menjadi lebih radikal. Kekalahan di Nahrawan menumbuhkan dendam di hati mereka. Secara diam-diam kaum Khawarij merencanakan untuk membunuh tiga orang yang di-anggap sebagai biang keladi perpecahan umat, ya­itu Ali, Mu'awiyah, dan Amr bin As. Pembunuhnya ditetapkan tiga orang, yaitu: Abdur Rahman bin Muljam ditugaskan membunuh Ali di Kufah, Barak bin Abdillah at-Tamimi ditugaskan membunuh Mu'awiyah di Syam, dan Amr bin Bakar at-Tamimi ditugaskan membunuh Amr bin As di Mesir. Ha­nya Ibnu Muljam yang berhasil menunaikan tugasnya. la menusuk Ali dengan pedangnya ketika Ali akan salat subuh di Masjid Kufah. Ali mengembuskan napas terakhir setelah memegang tampuk pimpinan  sebagai  khalifah  selama  lebih-kurang 4 tahun.

 

BIOGRAFI EMPAT MAZHAB

IMAM SYAFI'I

(Gaza, Palestina, 150 H/767 M-Fustat [Cairo], Mesir, 204 H/20 Januari 820).

Ulama mujtahid (ahli ijtihad) di bidang fikih dan salah seorang dari empat imam mazhab yang ter­kenal dalam Islam. la hidup di masa pemerintahan Khalifah Harun ar-Rasyid, al-Amin, dan al-Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah. Nama lengkap nya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i. la sering juga dipanggil dengan nama Abu Abdullah karena salah seorang putranya bernama Abdullah. Setelah menjadi ulama besar dan mempunyai banyak pengikut, ia lebih dikenal de­ngan nama Imam Syafi'i dan mazhabnya disebut Mazhab Syafi'i. Kata "Syafi'i" dinisbahkan kepada nama kakeknya yang ketiga, yaitu Syafi'i bin as-Sa'ib. Ayahnya bernama Idris bin Abbas bin Usman bin Syafi' bin as-Sa'ib bin Abid bin Abd Yazid bin Hasyim bin al-Muttalib bin Abd Manaf, sedangkan ibunya bernama Fatimah binti Abdullah bin al-Hasan bin Husein bin Ali bin Abi Talib. Dari garis keturunan ayahnya, Imam Syafi'i bersatu dengan keturunan Nabi Muhammad SAW pada Abd Manaf, kakek Nabi SAW yang ketiga, sedangkan dari pihak ibunya, ia adalah cicit dari Ali bin Abi Talib. Dengan demikian, kedua orang tuanya berasal dari bangsawan Arab Kuraisy.

Kedua orangtuanya meninggalkan Mekah menuju Gaza, suatu tempat di Palestina, ketika ia masih dalam kandungan. Tiada berapa lama setelah tiba di Gaza, ayahnya jatuh sakit dan meninggal dunia. Beberapa bulan sepeninggal ayahnya ia dilahirkan dalam keadaan yatim. Syafi'i diasuh dan dibesarkan oleh ibunya sendiri dalam kehidupan yang sangat sederhana, bahkan banyak menderita kesulitan. Setelah Syafi'i berumur dua tahun, ibu­nya membawanya pulang ke kampung asalnya, Mekah. Di sinilah Syafi'i tumbuh dan dibesarkan.

Pendidikan Syafi'i dimulai dari belajar membaca Al-Qur'an. Sejak usia dini ia telah memperlihatkan kecerdasan dan daya hafal yang luar biasa. Dalam usia 9 tahun Syafi'i sudah menghafal seluruh isi Al-Qur'an dengan lancar. Setelah dapat menghafal Al-Qur'an, Syafi'i berangkat ke dusun Badui, Banu Hudail, untuk mempelajari bahasa Arab yang asli dan fasih. Di sana, selama bertahun-tahun Syafi'i mendalami bahasa, kesusastraan, dan adat istiadat Arab yang asli. Berkat ketekunan dan kesungguhannya, Syafi'i kemudian dikenal sangat ahli dalam bahasa Arab dan kesusastraannya, mahir dalam membuat syair, serta mendalami adat istiadat Arab yang asli.

Syafi'i kembali ke Mekah dan belajar ilmu fikih pada Imam Muslim bin Khalid az-Zanni, seorang ulama besar dan  mufti di kota Mekah, sampai memperoleh ijazah berhak mengajar dan memberi fatwa. Selain itu, Syafi'i juga mempelajari berbagai cabang ilmu agama lainnya seperti ilmu hadis dan ilmu Al-Qur'an. Untuk ilmu hadis, ia berguru pada ulama hadis terkenal di zaman itu, Imam Sufyan bin Uyainah, sedangkan untuk ilmu Al-Qur'an pada ulama besar Imam Isma'il bin Qastantin.

Di samping cerdas, Syafi'i  juga sangat tekun dan tidak kenal lelah dalam belajar. Pada usia 10 tahun ia sudah membaca seluruh isi kitab al-Muwatta' karangan Imam  Malik dan pada usia 15 tahun telah menduduki kursi mufti di Mekah. Selama menuntut ilmu, Syafi'i hidup serba kekurangan dan penuh penderitaan. Diriwayatkan bahwa karena kemiskinan dan ketidakmampuannya ia terpaksa mengumpulkan kertas-kertas bekas dari kantor-kantor pemerintah atau tulang-tulang sebagai alat untuk mencatat pelajarannya.

Setelah menghafal isi kitab al-Muwatta', Syafi'i sangat berhasrat untuk menemui pengarangnya, Imam Malik, sekaligus memperdalam ilmu fikih yang amat diminatinya. Lalu dengan meminta izin kepada gurunya di Mekah, Syafi'i berangkat ke Madinah, tempat Imam Malik. Diceritakan bahwa dalam perjalanan antara Mekah dan Madinah yang ditempuhnya selama 8 hari Syafi'i sempat mengkhatamkan (baca sampai selesai) Al-Qur'an sebanyak 16 kali. Setibanya di Madinah, ia lalu salat di Masjid Nabi, menziarahi makam Nabi SAW, baru kemudian menemui Imam Malik. Selama di Madi­nah Syafi'i tinggal di rumah gurunya, Imam Malik, la sangat dikasihi oleh gurunya itu dan kepadanya diserahi tugas untuk mendiktekan isi kitab al-Mu­watta' kepada murid-murid Imam Malik.

Syafi'i adalah profil ulama yang tidak pernah puas dalam menuntut ilmu. Semakin banyak ia menuntut ilmu semakin dirasakannya banyak yang tidak diketahuinya. la kemudian meninggalkan Madinah menuju Irak untuk berguru pada ulama besar di sana, antara lain Imam Abu Yusuf dan Imam Muhammad bin Hasan. Keduanya adalah sahabat Imam Abu Hanifah (Imam Hanafi). Dari kedua imam itu Syafi'i memperoleh pengetahuan yang lebih luas mengenai cara-cara hakim memeriksa dan memutuskan perkara, cara memberi fatwa, cara menjatuhkan hukuman, serta berbagai metode yang diterapkan oleh para mufti di sana yang tidak pernah dilihatnya di Hedzjaz.

Setelah 2 tahun di Irak, Syafi'i melanjutkan perjalanannya ke Persia, lalu ke Hirah, Palestina, dan Ramlah, suatu kota dekat Baitulmakdis, dengan satu tujuan yaitu menuntut ilmu pada ulama-ulama terkemuka dan mencari pengalaman. Dari Ramlah ia kembali ke Madinah dan tinggal di sana bersama Imam Malik kurang lebih 4 tahun sampai wafatnya Imam Malik.

Sebagai pencinta ilmu, Syafi'i mempunyai banyak guru. Begitu banyaknya guru Imam Syafi'i, sehingga Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menyusun satu buku khusus yang bernama Tawali at-Ta'sis yang di dalamnya disebut nama-nama ulama yang pernah menjadi guru Syafi'i, antara lain: Imam Muslim bin Khalid, Imam Ibrahim bin Sa'id, Imam Sufyan bin Uyainah, Imam Malik bin Anas (Imam Malik), Imam Ibrahim bin Muhammad, Imam Yahya bin Hasan, Imam Waqi', Imam Fudail bin lyad, dan Imam Muhammad bin Syafi'.

Aktivitasnya di bidang pendidikan dimulai dengan mengajar di Madinah dan menjadi asisten Imam Malik. Waktu itu usianya sekitar 29 tahun. Sebagai ulama fikih namanya mulai dikenal, muridnya pun berdatangan dari berbagai penjuru wilayah Islam. Selain sebagai ulama ahli fikih ia pun dikenal sebagai ulama ahli hadis, tafsir, bahasa dan kesusastraan Arab, ilmu falak, ilmu usul, dan tarikh. Di samping itu, Syafi'i memiliki kemampuan khusus dalam ilmu kiraah. la sangat mahir dalam melagukan ayat-ayat Al-Qur'an. Suaranya yang bagus dan bahasanya yang fasih memukau setiap orang yang mendengarkan bacaannya.

Syafi'i kemudian pindah ke Yaman atas undangan Abdullah bin Hasan, wali negeri Yaman. Di sana ia diangkat sebagai penasihat khusus dalam urusan hukum, di samping tetap melanjutkan karirnya se­bagai guru. Sama seperti di Madinah, di sini pun Syafi'i mempunyai banyak murid. Oleh wali negeri Yaman, Syafi'i dinikahkan dengan seorang putri bangsawan yang bernama Siti Hamidah binti Nafi', cicit Usman bin Affan. Perkawinannya ini dianugerahi tiga orang anak, yaitu Abdullah, Fatimah, dan Zainab.

Pada waktu itu orang-orang Syiah di Yaman sedang melangsungkan kegiatannya dengan gencar. Syiah dianggap sebagai kelompok oposisi yang akan menjatuhkan pemerintah resmi di Baghdad. Imam Syafi'i dituduh terlibat dalam aktivitas Syiah dan atas tuduhan itu ia ditangkap dan dibawa ke Baghdad menghadap Khalifah Harun ar-Rasyid. Setelah terbukti tidak bersalah, ia dibebaskan, bahkan Khalifah merasa kagum terhadapnya. Selama di Baghdad, Syafi'i diminta mengajar dan orang-orang Baghdad pun berduyun-duyun datang belajar kepadanya.

Pada tahun 181 H/797 M Syafi'i kembali meng­ajar ke Mekah. Selama 17 tahun di Mekah Syafi'i mengajarkan berbagai macam ilmu agama, terutama kepada para jemaah haji yang datang dari ber­bagai penjuru dunia Islam. Di samping mengajar, ia pun banyak menulis terutama mengenai masalah fikih.

Selanjutnya pada tahun 198 H/813 M Syafi'i pergi ke Baghdad, yaitu pada masa pemerintahan al-Ma'mun (198-218 H/813-833 M). Sesampainya di sana Syafi'i disambut oleh ulama dan pemuka Baghdad yang telah lama merindukan kedatangannya. Syafi'i diberi tempat mengajar di dalam Masjid Baghdad. Mulanya, di situ ada 20 halaqah (kelom­pok belajar), tetapi setelah Imam Syafi'i datang, hanya tinggal 3 halaqah, yang lainnya menggabungkan diri ke dalam halaqah Imam Syafi'i.

Belum cukup setahun mengajar di Baghdad Syafi'i diminta oleh wali negeri Mesir, Abbas bin Musa, untuk pindah ke Mesir. Dengan rasa berat Syafi'i meninggalkan murid-muridnya di Baghdad menuju Mesir. Di Mesir Syafi'i memberi pengajaran di Masjid Amr bin As, dengan jumlah murid yang tidak kalah banyaknya dari tempat lain. la biasa mengajar mulai pagi hari sampai zuhur. Selesai salat zuhur, baru ia pulang ke rumah. Di waktu sore dan malam hari ia memberikan pelajaran di rumah. Di Mesir Syafi'i menyelesaikan beberapa buah buku. Pikiran-pikiran dan hasil ijtihadnya selama tinggal di Mesir inilah yang kemudian dikenal sebagai pendapat-pendapat Imam Syafi'i yang baru (al-qaul al-jadid), sedangkan pikiran-pikiran dan hasil ijtihad sebelumnya dikenal dengan sebutan al-qaul al-qadim, pendapat Imam Syafi'i yang lama.

Syafi'i adalah figur ulama yang zahid. Pakaian dan tempat tinggalnya sederhana. la tidak suka makan banyak dan menurut pengakuannya sejak kecil ia sudah terbiasa tidak makan sampai kenyang, karena kekenyangan membuat tubuh men­jadi malas, membuat hati jadi beku, dan membuat pikiran jadi tumpul. Orang kenyang enggan beribadat kepada Allah. Walaupun dalam serba kekurangan, Imam Syafi'i memiliki sifat dermawan. Setiap kali menerima hadiah berupa uang dan harta lainnya ia tidak pernah menyimpannya di rumah, melainkan segera dibagikan kepada fakir miskin dan orang-orang yang membutuhkan.

Syafi'i juga terkenal dalam ketaatannya dan ketakwaannya kepada Allah SWT. Ada banyak pengakuan ulama mengenai dirinya, antara lain dari Imam ar-Rabi' bin Sulaiman al-Marawi yang mengatakan bahwa Syafi'i menggunakan sebagian besar waktunya di malam hari untuk salat dan mengkhatamkan Al-Qur'an, terutama di bulan Ramadan ia bisa mengkhatam bacaan Al-Qur'an sampai enam puluh kali. Pengakuan yang sama disampaikan oleh Imam Husain al-Karabisi. la berkata, "Saya sering bermalam di rumah Imam Syafi'i dan menyaksikannya setiap malam menghabiskan sepertiga waktunya di akhir malam untuk salat dan mengkhatam Al-Qur'an."

Imam Syafi'i digelari Nasir as-Sunnah artinya "pembela sunah atau hadis" karena sangat menjunjung tinggi sunah Nabi SAW, sebagaimana ia sa­ngat memuliakan para ahli hadis. Ulama besar, Abdul Halim al-Jundi, menulis sebuah buku dengan judul al-Imam asy-Syafi'i, Nasir as-Sunnah wa Wadi' al-Usul (Imam Syafi'i, Pembela Sunah dan Peletak Dasar Ilmu Usul Fikih). Di dalamnya diuraikan secara rinci bagaimana sikap dan pembelaan Syafi'i terhadap sunah. Intinya adalah bah­wa Imam Syafi'i sangat mengutamakan sunah Nabi SAW dalam melandasi pendapat-pendapat dan hasil ijtihadnya.

Karena sangat mengutamakan sunah, Syafi'i menjadi sangat berhati-hati dalam menggunakan kias. Menurutnya, kias hanya dapat digunakan da­lam keadaan terpaksa (darurat), yaitu dalam masalah mu'amalah (kemasyarakatan) yang tidak didapati teksnya (nasnya) secara pasti dan jelas di dalam Al-Qur'an atau hadis sahih, atau tidak dijumpai ijmak pada sahabat. Kias sama sekali ti­dak dibenarkan dalam urusan ibadah karena untuk segala yang menyangkut ibadah sudah tertera nas­nya di dalam Al-Qur'an dan sunah Nabi SAW. Dalam penggunaan kias, Syafi'i menegaskan bahwa harus diperhatikan nas-nas Al-Qur'an dan sunah yang telah ada.

Syafi'i berpendapat bahwa bidah ada dua ma-cam: bidah terpuji dan bidah sesat. Dikatakan terpuji jika bidah itu selaras dengan prinsip-prinsip sunah, sebaliknya jika bertentangan dengannya dikatakan bidah sesat. Mengenai taklid, Syafi'i selalu memberikan perhatian kepada murid-muridnya agar tidak menerima begitu saja pendapat-pendapat dan hasil ijtihadnya. Ia tidak senang melihat murid-mu­ridnya bertaklid buta kepada perkataan-perkataannya. Sebaliknya ia menyuruh murid-muridnya untuk bersikap kritis dan berhati-hati dalam mene­rima suatu pendapat.

Dalam meng-istinbat-kan (mengambil dan menetapkan) suatu hukum, Syafi'i dalam bukunya ar-Risalah menjelaskan bahwa ia memakai lima dasar, yaitu,

1) Al-Qur'an,

2) sunah,

3) ijmak,

4) kias, dan

5) istidlal (penalaran).

Kelima dasar inilah yang kemudian dikenal sebagai dasar-dasar mazhab Imam Syafi'i. Dasar pertama dan utama dalam menetapkan hukum adalah Al-Qur'an. Syafi'i terlebih dahulu melihat makna lafzi (perkataan) Al-Qur'an. Kalau suatu masalah tidak menghendaki makna lafzi barulah ia mengambil makna majazi (kiasan). Kalau dalam Al-Qur'an tidak ditemukan hukumnya, ia beralih kepada sunah Nabi SAW. Dalam hal sunah, ia juga memakai hadis ahad (perawinya satu orang) di samping yang mutawatir (perawinya banyak orang), selama hadis ahad itu mencukupi syarat-syaratnya. Jika di dalam sunah pun belum dijumpai nasnya, ia mengambil ijmak sahabat. Setelah mencari dalam ijmak sahabat dan tidak juga ditemukan ketentuan hukumnya barulah ia melakukan kias. Apabila ia tidak menjumpai dalil dari ijmak dan kias, ia memilih jalan istidlal, yaitu menetapkan hukum berdasarkan kaidah-kaidah umum agama Islam.

Sebagai ulama yang tempat mengajarnya berpindah-pindah, Syafi'i mempunyai ribuan murid yang berasal dari berbagai penjuru. Di antaranya yang terkenal adalah ar-Rabi' bin Sulaiman al-Ma­rawi, Abdullah bin Zubair al-Hamidi, Yusuf bin Yahya al-Buwaiti, Abu Ibrahim, Isma'il bin Yahya al-Muzani, Yunus bin Abdul A'la as-Sadafi, Ahmad bin Sibti, Yahya bin Wazir al-Misri, Harmalah bin Yahya Abdullah at-Tujaibi, Ahmad bin Hanbal, Hasan bin Ali al-Karabisi, Abu Saur Ibrahim bin Khalid Yamani al-Kalbi, dan Hasan bin Ibrahim bin Muhammad as-Sahab az-Za'farani. Mereka semua berhasil menjadi ulama besar di masanya.

Syafi'i adalah profil ulama yang tekun dan berbakat dalam menulis. Karangannya yang sampai kepada kita antara lain,

(1) ar-Risalah, suatu kitab yang khusus membahas tentang usul fikih dan me-rupakan buku pertama yang ditulis ulama dalam bidang usul fikih. Di dalamnya Syafi'i menguraikan dengan jelas cara-cara mengistinbatkan hukum. Sampai sekarang buku ini tetap merupakan buku standar dalam usul fikih.

(2) Kitab al-Umm, sebuah kitab fikih yang komprehensif. Kitab al-Umm yang ada sekarang terdiri atas tujuh jilid dan mencakup isi beberapa kitab Syafi'i yang lain seperti Siyar al-Ausa'i, Jima' al-'Ilm, Ibtal al-Istihsan, dan ar-Radd 'Ala Muhammad ibn Hasan.

(3) Kitab al-Musnad, berisi tentang hadis-hadis Nabi SAW yang dihimpun dari kitab al-Umm. Di sana dijelaskan keadaan sanad setiap hadis.

(4) Ikhtilaf al-Hadis, suatu kitab hadis yang menguraikan pendapat Syafi'i mengenai perbedaan-perbedaan yang ter-dapat dalam hadis. Terdapat pula buku-buku yang memuat ide-ide dan pikiran-pikiran Imam Syafi'i, tetapi ditulis oleh murid-muridnya, seperti Kitab al-fiqh, al-Muktasar al-Kabir, al-Mukhtasar as-Sagir, dan al-Fara'id. Ketiga yang baru ini dihimpun oleh Imam al-Buwaiti.

SYAFI'I, MAZHAB.

Salah satu aliran dalam fikih di kalangan Ahlusunah waljamaah. Nama ini dinisbahkan kepada Imam  Syafi'i yang nama panjangnya Abu Abdullah Muhammad bin Idris asy-Syafi'i. Imam Syafi'i merupakan pendiri aliran ini yang muncul pada pertengahan abad ke-2 H.

Sebagai pendiri mazhab, Imam Syafi'i memiliki pemikiran fikih yang khas yang berbeda dengan kedua aliran sebelumnya, Mazhab Maliki dan Mazhab Hanafi, meskipun kedua aliran ini telah dipelajarinya secara mendalam. Ketika menetap di Mesir, ia membina para muridnya yang kemudian menjadi ulama-ulama besar sebagai penerus dan penyebar pahamnya. Di antara muridnya yang ter-kenal adalah Abu Saur Ibrahim bin Khalid bin Yamani al-Kalbi, Hasan bin Ibrahim bin Muhammad as-Sahab az-Za'farani, Isma'il bin Yahya al-Muzani, dan ar-Rabi bin Sulaiman al-Marawi. Dari para murid inilah paham-pahamnya tersebar luas dan karya tulisnya menjadi pegangan atau sumber acuan masyarakat. Pada perkembangan selanjutnya, paham-paham Syafi'i menjadi suatu mazhab fikih yang penganutnya tersebar di berbagai dunia Islam.

Sumber acuan mazhab ini adalah paham dan buah pikiran Syafi'i yang termuat dalam berbagai karya tulisnya, antara lain: Ar-Risalah (kitab usul fikih), al-Umm (kitab yang memuat masalah-masalah fikih), Ikhtilaf al-Hadis (kitab yang berkaitan dengan ilmu hadis), dan al-Musnad (kitab hadis). Kitab-kitab lainnya, yang dihimpun oleh para mu­ridnya, antara lain al-Fiqh (hasil himpunan al-Haramain bin Yahya), al-Mukhtasar al-Kabir, al-Mukhtasar as-Sagir, al-Fara'id (hasil himpunan Imam al-Buwaiti), al-Jami' al-Kabir, dan as-Sagir (hasil himpunan al-Muzani). Para ulama Mazhab Syafi'i ada yang mengembangkan kitab-kitab tersebut dengan mensyarahkan (menguraikan atau menjelaskan) atau membuat hasyiahnya (komentar). Ada juga yang sengaja menyusun kitab-kitab sebagai karyanya sendiri dengan mengacu pada paham-paham fikih dan metode istinbat Syafi'i.

Adapun yang menjadi dasar dalam pembinaan fikihnya (masadir atau sumber/dasar dan dalil ta-syri'-nya atau hukumnya) sebagaimana yang diterapkan oleh Syafi'i, ialah Al-Qur'an, sunah, ijmak, dan kias. Al-Qur'an merupakan sumber pertama dan sunah sumber kedua. Sunah yang dipakai ada­lah sunah yang nilai kuantitasnya mutawdtir (perawinya banyak orang) maupun yang ahad (perawinya satu orang); sunah yang nilai kualitasnya sahih maupun hasan, bahkan juga sunah yang daif. Adapun syarat-syarat untuk semua sunah yang daif ada­lah:

(1) tidak terlalu lemah,

(2) dibenarkan oleh kaidah umum atau dasar kulli (umum) dari nas,

(3) tidak bertentangan dengan dalil yang kuat atau sahih, dan

(4) hadis tersebut bukan untuk menetap-kan halal dan haram atau masalah keimanan, melainkan sekedar untuk anjuran keutamaan amal (fada'il al a'mal) atau untuk targib (imbauan) dan tarhib (anjuran).

Dalam pandangan Imam Syafi'i hadis mempunyai kedudukan yang begitu tinggi. Bahkan disebut-sebut sebagai salah seorang yang meletakkan hadis setingkat dengan Al-Qur'an dalam kedudukannya sebagai sumber hukum Islam yang harus diamalkan. Karena, menurut Imam Syafi'i, hadis itu mempunyai kaitan yang sangat erat dengan Al-Qur'an. Bahkan, menurutnya, setiap hukum yang ditetapkan Rasulullah SAW pada hakikatnya me­rupakan hasil pemahaman yang beliau peroleh dari memahami Al-Qur'an. Dengan demikian, memang pada tempatnya jika Imam Syafi'i oleh banyak orang dijuluki sebagai pembela sunah (nasir as-sunnah). Selain berpegang pada Al-Qur'an dan sunah, Imam Syafi'i juga berpegang pada ijmak. Ijmak yang dimaksudkannya ialah suatu hasil kese-pakatan para sahabat secara integral mengenai hu­kum suatu masalah. Kesepakatan ini harus diper-oleh secara jelas. Soal kias, menurut Imam Syafi'i merupakan salah satu dasar hukum Islam untuk mengetahui suatu kepastian hukum yang ketentuannya tidak ditunjuk langsung oleh nas yang sarih (tegas). Jika suatu persoalan hukumnya tidak di­tunjuk secara jelas, baik oleh nas maupun oleh ijmak, maka harus dilakukan ijtihad melalui jalan kias. Kias itu sendiri artinya ilhaqu amrin qair mansusin 'ala hukmihi bi amrin akhar mansusin 'ala hukmihi liisytirakihi ma'ahu fl 'illah al-hukmi (menetapkan hukum atas suatu perbuatan yang belum ada nasnya berdasarkan sesuatu yang sudah ada kepastian hukumnya secara jelas dalam nas, karena terdapat kesamaan ilat [sebab] hukumnya). Di kalangan penganut Mazhab Syafi'i dikenal juga adanya teori/metode maslahat, yakni metode penerapan hukum yang berdasarkan kepentingan umum. Hanya saja maslahat yang digunakannya terbatas pada maslahat yang mu'tabarah (maslahat yang se­cara khusus ditunjuk oleh nas) dan maslahat yang mulaimah lijins tasarrufat asy-Syari' (maslahat yang sesuai dengan kehendak Allah SWT sebagai pembuat undang-undang).

Mazhab Syafi'i mula-mula tumbuh dan berkembang di Irak. Di sinilah untuk pertama kalinya Imam Syafi'i menyampaikan paham-pahamnya kepada para ulama, ketika ia melawat ke daerah ini dalam rangka meluaskan wawasan ilmunya. Maz­hab ini berkembang cukup subur dan pesat di Mesir, sekalipun pada masa kekuasaan Dinasti Fatimiah mazhab ini sempat mendapat tekanan keras. Dari sini paham-paham Syafi'i terus disebarkan oleh para pengikutnya ke berbagai wilayah, seperti Baghdad, Khurasan, Pakistan, Syam (Suriah), Yaman, Persia (Iran), Hedzjaz, India, dan beberapa daerah Afrika dan Andalusia. Pada perkembangan berikutnya, sampai pada abad modern Islam, maz­hab ini telah memasuki berbagai belahan dunia, antara lain Mesir, Palestina, Suriah, Khurasan, Hedzjaz, Irak, Persia, Hadramaut, Aden, Cina, India, Pakistan, Philipina, Malaysia, Brunei Darussalam, dan Indonesia. Untuk beberapa negara atau daerah, mazhab ini juga mengalami pasang surut, yakni berkaitan erat dengan kebijaksanaan pemerintah yang sedang berkuasa. Hal ini dapat dilihat di Iran maupun di Madinah bahwa Mazhab Syafi'i tidak banyak berkembang di kedua negara ini.

 

 

 

IMAM MALIK

(Madinah, 94 H/716 M-Madinah, 179 H/795 M).

Pendiri Mazhab Maliki, imam dan mujtahid (ahli ijtihad) besar dalam Islam yang ahli di bidang fikih dan hadis. Kama lengkapnya ialah Abu Abdullah Malik bin Anas bin Malik bin Abi Amir bin Amr bin Haris bin Gaiman bin Kutail bin Amr bin Haris al-Asbahi. Malik bin Anas sejak lahir sampai wafatnya berada di Madinah. la tidak pernah meninggalkan kota Madinah kecuali untuk menunaikan ibadah haji ke Mekah. Madinah ketika itu merupakan pusat berkembangnya sunah/hadis Rasulullah SAW, dan ia sendiri menjadi salah seorang periwayat (rawi) hadis yang masyhur.

Dalam hal penerimaan hadis, ia hanya menerima hadis dari orang yang memang dipandang ahli hadis dan orang terpercaya (siqah). la pun hanya menerima hadis yang matannya (redaksi atau kandungannya) tidak bertentangan dengan Al-Qur'an. Dalam hal periwayatan hadis, ia hanya meriwayatkan hadis-hadis yang makruf dan mensyaratkan juga matan hadis itu sejalan dengan amalan penduduk Madinah.

Guru yang sekaligus menjadi sumber penerima­an hadis Imam Malik adalah Nafi' bin Abi Nu'aim, Ibnu Syihab az-Zuhri, Abul Zinad, Hasyim bin Urwa, Yahya bin Sa'id al-Ansari, dan Muhammad bin Munkadir. Gurunya yang lain adalah Abdur Rahman bin Hurmuz, seorang tabiin ahli hadis, fikih, fatwa, dan ilmu berdebat. Adapun murid-muridnya antara lain: asy-Syaibani, Imam Syafi'i, Yahya bin Yahya al-Andalusi, Abdurrahman bin Kasim di Mesir, dan Asad al-Furat at-Tunisi.

Buku karangan Malik bin Anas bernama al-Muwatta'. Buku ini adalah buku hadis dan sekali­gus buku fikih karena berisi hadis-hadis yang disusun sesuai dengan bidang-bidang yang terdapat dalam buku fikih. Dikatakan bahwa hadis-hadis yang terdapat dalam kitab al-Muwatta' ini tidak seluruhnya musnad (hadis yang bersambung sanadnya) karena di samping hadis, di dalamnya ter­dapat pula fatwa para sahabat dan tabiin. Kitab al-Muwatta' ini mulai ditulis oleh Malik bin Anas pada masa Khalifah al-Mansur (137 H/754 M-159 H/775 M) dan selesai penulisannya pada masa Khalifah al-Mahdi (159 H/775 M-169 H/785 M). Khalifah Harun ar-Rasyid (170 H/786 M-194 H/ 809 M) berusaha menjadikan kitab ini sebagai kitab hukum yang berlaku untuk umum pada masanya, tetapi Malik bin Anas tidak menyetujuinya.

Imam Malik tidak mau ikut campur dalam hal politik. Akan tetapi, ketika ia diminta memberi fat­wa tentang baiat yang diberikan secara paksa, ia menyatakan bahwa baiat semacam itu tidak sah. Baiat yang dimaksud itu ialah baiat khalifah Ab-basiyah, al-Mansur, yang menurut kelompok Syiah dipaksakan kepada umat. Bagi kelompok Syiah, fatwa Malik bin Anas ini dijadikan pendorong da­lam menentang kekuasaan Abbasiyah di Madinah. Peristiwa yang terjadi tahun 147 H ini menyebabkan Malik bin Anas ditangkap dan disiksa. Ketika musim haji tiba, al-Mansur mengunjungi Imam Malik dan memohon maaf kepadanya atas perlakuan petugas yang ada di Madinah. Imam Malik kemudian dibebaskan dan Khalifah al-Mansur me­mohon kepadanya untuk mengumpulkan hadis-ha­dis Rasulullah SAW agar dapat dijadikan pegangan umat. Pada mulanya Imam Malik memang keberatan tetapi akhirnya melaksanakannya juga. Sebagai hasilnya, tercipta kitab al-Muwatta' seperti tersebut di atas.

Pemikiran Imam Malik di bidang hukum Islam/ fikih sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Ma­dinah sebagai pusat timbulnya sunah Rasulullah SAW dan sunah sahabat merupakan lingkungan kehidupan Imam Malik sejak lahir sampai wafatnya. Oleh sebab itu, pemikiran hukum Imam Malik banyak berpegang pada sunah-sunah tersebut. Kalau terjadi perbedaan satu sunah dengan yang lain, maka ia berpegang pada tradisi yang biasa berlaku di masyarakat Madinah. Menurut pendapatnya, tradisi masyarakat Madinah ketika itu berasal dari tradisi para sahabat Rasulullah SAW yang dapat dijadikan sumber hukum. Kalau ia tidak menemukan dasar hukum dalam Al-Qur'an dan sunah, ma­ka ia memakai qiyas (kias) dan al-maslahah al-mursalah (maslahat/kebaikan umum).

Berdasarkan pendapat Imam Malik tersebut, dasar-dasar hukum yang berlaku dalam Mazhab Maliki adalah sesuai dengan urutan berikut: 1) Al-Qur'an, 2) as-sunnah (sunah Rasulullah SAW), 3) sunah sahabat, 4) tradisi masyarakat Madinah ('amal ahli al-Madinah), 5) kias, dan 6) al-maslahah al-mursalah.

Mazhab Maliki timbul dan berkembang di Ma­dinah. kemudian tersiar di sekitar Hedzjaz. Di Me­sir, Mazhab Maliki sudah mulai muncul dan berkembang selagi Imam Malik masih hidup. Di an­tara yang berjasa mengembangkannya adalah para murid Imam Malik sendiri: Abdul Malik bin Habib as-Sulami, Isma'il bin Ishak, Asyhab bin Abdul Aziz al-Kaisy, Abdurrahman bin Kasim, Usman bin Hakam, dan Abdur Rahim bin Khalid. Selain di Mesir, Mazhab Maliki ini juga dianut oleh umat Islam yang berada di Maroko, Tunisia, Tripoli, Su­dan, Bahrain, Kuwait, dan daerah Islam lain di sebelah barat, termasuk Andalusia. Filsuf Ibnu Rusyd yang di dunia Barat dikenal sebagai Commentator dari Aristoteles termasuk pengikut Imam Malik. Sementara itu, di dunia Islam sebelah timur Mazhab Maliki ini kurang berkembang.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

IMAM HANAFI

(Kufah, 80 H/699 M Baghdad, 150 H/767 M).

Ulama mujtahid (ahli ijtihad) dalam bidang fikih dan salah seorang di antara imam keempat mazhab (Mazhab Maliki, Mazhab Hanbali, Mazhab Syafi'i, dan Mazhab Hanafi) yang terkenal dalam Islam. Nama lengkapnya Abu Hanifah Nu'man bin Sabit. Ayahnya, Sabit, berasal dari keturunan Persia yang semasa kecil diajak orangtuanya berziarah kepada Ali bin Abi Talib. Lalu ia didoakan agar dari keturunannya (Sabit) ada yang menjadi ahli agama. Gelar Abu Hanifah diberikan kepada Nu'man bin Sabit karena ia se­orang yang sungguh-sungguh dalam beribadah. Kata hanif dalam bahasa Arab berarti "suci" atau "lurus". Setelah menjadi ulama mujtahid, ia pun dipanggil dengan sebutan Imam Abu Hanifah dan mazhabnya dinamakan Mazhab Hanafi.

Imam Abu Hanifah dikenal rajin dan teliti da­lam bekerja, fasih berbahasa. Pembicaraannya selalu mengandung nasihat dan hikmah. la teguh da­lam memegang prinsip, berani menyatakan yang benar di hadapan siapa pun, dan memiliki kepribadian yang luhur. Walaupun putra saudagar kaya, Abu Hanifah amat menjauhi kemewahan hidup. Begitu pula ketika ia sendiri menjadi pedagang kaya, hartanya lebih banyak didermakan daripada digunakannya sendiri. la senang bergaul dan mempunyai banyak sahabat.

Sejak masa mudanya Abu Hanifah sudah me­nunjukkan kecintaan yang mendalam pada ilmu pengetahuan, terutama yang bertalian dengan hukum Islam. la mengunjungi berbagai tempat untuk berguru kepada ulama yang terkenal, sehingga Abu Hanifah mempunyai banyak guru. Gurunya keba-nyakan dari para tabiin, antara lain Imam Ata bin Abi Rabah (w. 114 H), Imam Nafi Maula bin Amr (w. 117 H), dan Imam Hammad bin Abi Sulaiman (w. 120 H). Yang terakhir ini adalah seorang ulama fikih yang termasyhur di masanya, dan Abu Hanifah berguru kepadanya selama kurang lebih 18 tahun. Gurunya yang lain adalah Imam Muham­mad al-Baqir, Imam Adi bin Sabit, Imam Abdur­rahman bin Hammaz, Imam Amr bin Dinar, Imam Mansur bin Mu'tamir, Imam Syu'bah al-Hajjaj, Imam Asim bin Abu an-Najwad, Imam Salamah bin Kuhail, Imam Qatadah, Imam Rabi'ah bin Abi Abdurrahman, dan Iain-lain.

Minatnya yang mendalam terhadap ilmu fikih, kecerdasan, ketekunan, dan kesungguhan dalam belajar mengantarkan Abu Hanifah menjadi se­orang yang ahli di bidang fikih. Keahliannya diakui oleh ulama semasanya, antara lain oleh Imam Hammad bin Abi Sulaiman. la sering mempercayakan tugas kepada Abu Hanifah untuk memberi fatwa dan pelajaran ilmu fikih di hadapan murid-muridnya. Imam Syafi'i menyatakan bahwa Abu Hanifah adalah bapak dan pemuka seluruh ulama fikih. Imam Khazzaz bin Sarad juga mengakui keunggulan Abu Hanifah di bidang fikih dari ulama lainnya.

Selain ilmu fikih, Abu Hanifah juga mendalami hadis dan tafsir, karena keduanya sangat erat berkaitan dengan fikih. Pengetahuan lain yang dimilikinya adalah sastra Arab dan ilmu hikmah. Karena penguasaannya yang mendalam terhadap hukum-hukum Islam, ia diangkat menjadi mufti di kota Kufah, menggantikan Imam Ibrahim an-Nakhai. Kepopulerannya sebagai ahli fikih terdengar sampai ke berbagai pelosok negeri.

Imam Abu Hanifah begitu terkenal sehingga banyak orang datang dari daerah yang jauh, hanya untuk mendengarkan fatwanya, dan dalam waktu singkat muridnya pun bertambah dengan pesat, an­tara lain Imam Abu Yusuf (113-182 H), Imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani (132-189 H), Imam Zufar bin Hudail (w. 158 H/775 M), dan Imam Hasan bin Ziyad.

Berbeda dengan guru lainnya pada waktu itu, Abu Hanifah dalam memberikan pengajaran selalu menekankan kepada murid-muridnya untuk berpikir kritis. la tidak ingin muridnya menerima begitu saja ilmu yang disampaikannya, melainkan mereka boleh mengemukakan tanggapan, pendapat, dan kritik. Sering kali ia ditemukan berdiskusi, bahkan berdebat dengan murid-muridnya tentang suatu masalah. Walaupun ia memberi kebebasan berpikir dan mengemukakan pendapat kepada murid-muridnya, ia tetap disegani dan dihormati, malah sangat dicintai murid-muridnya.

Ketakwaan Imam Abu Hanifah banyak diakui oleh ulama yang dekat dan mengenal dengan baik kehidupannya sehari-hari. Imam Abu Hanifah ada­lah orang yang banyak beribadah kepada Allah SWT, sangat membenci perbuatan yang dilarang Allah SWT, amat berhati-hati dalam mengeluarkan hukum agama, dan paling sedikit berbicara. Imam Abu Hanifah terkenal sebagai orang yang sangat alim, sangat membenci kemewahan hidup, tekun dalam beribadah kepada Allah SWT, dan menguasai seluk-beluk hukum Islam.

Imam Abu Hanifah dikenal mempunyai sikap keras dan tegas terhadap bidah. Karena itu, ia senantiasa berpesan kepada murid-muridnya agar selalu waspada terhadap berbagai bidah yang muncul, dan hendaknya selalu berpedoman pada sunah Rasulullah SAW. Menurutnya, setiap hal yang baru dalam urusan ibadah adalah bidah.

Imam Abu Hanifah digelari Imam Ahlur Ra'yi karena ia lebih banyak memakai argumentasi akal daripada ulama lainnya. la juga banyak menggunakan kias dalam menetapkan suatu hukum. Walaupun demikian, tidak berarti ia mendahulukan kias daripada nas. Dasar-dasar yang dipakai dalam menetapkan suatu hukum adalah:

(1) kitab Allah SWT (Al-Qur'an);

(2) sunah Rasulullah SAW;

(3) fatwa-fatwa dari para sahabat;

(4) kias;

(5) istihsan;

(6) ijmak; dan

(7)  'urf, yaitu adat yang berlaku di masyarakat Islam.

Dasar-dasar itulah yang kemudian dikenal de­ngan "Dasar Mazhab Hanafi". Tegasnya, ia hanya menggunakan kias bila hukumnya tidak didapati secara jelas di dalam Al-Qur'an, tidak dalam sunah (hadis sahih), dan tidak pula dalam keputusan para sahabat, khususnya al-Khulafa' ar-Rasyidun (Abu Bakar as-Siddiq, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, dan Ali bin Abi Talib).

Sebagai ulama yang terkemuka dan banyak memberikan fatwa, Imam Abu Hanifah meninggalkan banyak ide dan buah pikiran. Sebagian ide dan buah pikirannya ditulisnya sendiri dalam bentuk buku, tetapi kebanyakan dihimpun oleh murid-muridnya untuk kemudian dibukukan. Kitab-kitab yang ditulisnya sendiri antara lain: (1) al-Fara'id, yang khusus membicarakan masalah waris dan segala ketentuannya menurut hukum Islam; (2) asy-Syurut, yang membahas perjanjian; dan (3) al-Fiqh al-Akbar, yang membahas ilmu kalam atau teologi dan diberi syarah (penjelasan) oleh Imam Abu Mansur Muhammad al-Maturidi dan Imam Abu al-Muntaha al-Maula Ahmad bin Mu­hammad al-Magnisawi.

Jumlah kitab yang ditulis oleh murid-muridnya cukup banyak; di dalamnya terhimpun ide dan buah pikiran Abu Hanifah. Semua kitab itu kemudian menjadi pegangan pengikut Mazhab Hanafi. Ulama Mazhab Hanafi membagi kitab-kitab itu ke dalam tiga tingkatan.

Pertama, tingkat Masa'il al-Usul (masalah-masalah pokok), yaitu kitab-kitab yang berisi masalah-masalah yang langsung diriwayatkan dari Imam Hanafi dan sahabat-sahabatnya yang terkenal seperti Imam Abu Yusuf. Walaupun demikian, kitab ini tidak murni merupakan pendapat dan pikiran Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya, tetapi juga pikiran dan pendapat murid yang menuliskannya. Kitab dalam kategori ini disebut Zahir ar-Riwayah (teks riwayat) yang terdiri atas 6 kitab, yaitu:

(1) al-Mabsut (buku yang terbentang); (2) al-Jami' as-Sagir (himpunan ringkas); (3) al-Jami' al-Kabir (himpunan lengkap); (4) as-Sair as-Sagir (sejarah ringkas); (5) as-Sair al-Kabir (sejarah lengkap); (6) az-Ziyadah (tambahan).

Pada awal abad ke-4 Hijriah, keenam buku ini dihimpun dan disusun menjadi satu oleh Imam Abdul Fadl Muhammad bin Ahmad al-Marwazi dengan nama al-Kafi (Yang Memadai) yang kemudian disyarah oleh Imam Muhammad as-Sarkhasi dengan nama al-Mabsut (Yang Menuai).

Kedua, tingkat Masa'il an-Nawazir (masalah tentang sesuatu yang diberikan sebagai nazar), yaitu kitab-kitab yang berisi masalah fikih yang diriwayatkan dari Imam Abu Hanifah dan sahabat-sahabatnya dalam kitab selain Zahir ar-Riwayah. Kitab-kitab yang termasuk dalam kategori kedua adalah kitab-kitab Harr an-Niyah (Niat Yang Murni), Jurj an-Niyah (Rusaknya Niat), dan Qais an-Niyah (Kadar Niat) oleh Imam Muhammad bin Hasan bin Syaibani, serta kitab al-Mujarrad (Yang Asli) oleh Imam Hasan bin Ziyad.

Ketiga, tingkat al-Fatawa wa al-Waqi'at (fatwa-fatwa dalam permasalahan), yaitu kitab-kitab yang berisi masalah-masalah fikih yang berasal dari is-tinbat (pengambilan hukum dan penetapannya) ulama Mazhab Hanafi. Termasuk dalam kategori ini adalah kitab-kitab an-Nawazil (Bencana) dari Imam Abdul Lais as-Samarqandi.

 

 

 

 

 

IMAM HANBALI

(Baghdad, Rabiulakhir 164/ 780 M-Rabiulawal 241/855 M).

Ulama mujtahid (ahli  ijtihad) di bidang fikih dan salah seorang di antara empat imam mazhab yang terkenal di dunia Islam. Nama lengkapnya Ahmad bin Muhammad bin Hanbal. Sering juga dipanggil dengan nama Abu Abdullah, karena salah seorang putranya bernama Abdullah. Setelah menjadi ulama besar yang mempunyai banyak pengikut, ia dikenal dengan panggilan Imam Hanbali dan mazhabnya disebut Mazhab Hanbali.

Ayahnya bernama Muhammad bin Hanbal bin Hilal bin Asas bin Idris bin Abdullah bin Hayyan bin Abdullah bin Anas bin Auf bin Qasit bin Mazin bin Syaiban bin Dahal bin Akabah bin Sya'b bin Ali bin Baqa bin Qashid bin Aqsy bin Dami bin Jadlah bin As'ad bin Rabi'ah bin Nizar. Pada Nizar inilah bertemu silsilah Imam Hanbali dan Nabi Muham­mad SAW. Ibunya bernama Shahifah binti Maimunah bin Abdul Malik bin Sawadah bin Hindur asy-Syaibani, berasal dari bangsawan Bani Amir.

Karena ayahnya meninggal dalam usia muda, Hanbali diasuh dan dibesarkan oleh ibunya sendiri. Pendidikannya diawali dengan belajar Al-Qur'an dan ilmu-ilmu agama pada ulama-ulama di Bagh­dad sampai usia 16 tahun. Kemudian, ia memperdalam ilmu agama dengan mengunjungi ulama-ulama ternama di berbagai tempat, seperti Kufah, Basra, Syam (Suriah), Yaman, Mekah, dan Madinah. Di antara guru-gurunya adalah Hammad bin Khalid, Isma'il bin Aliyyah, Muzaffar bin Mudrik, Walid bin Muslim, Mu'tamar bin Sulaiman, Abu Yusuf al-Qadi, Yahya bin Zaidah, Ibrahim bin Sa'id, Muhammad bin Idris asy-Syafi'i, Abdurrazaq bin Human, Musa bin Tariq, dan banyak lagi yang lainnya. Dari merekalah Ibnu Hanbal mendalami ilmu fikih, ilmu hadis, ilmu tafsir, ilmu kalam, ilmu usul, dan ilmu bahasa Arab.

Ibnu Hanbal adalah seorang yang cerdas, rajin, dan tekun, serta sangat cinta kepada ilmu pengetahuan. Begitu cintanya pada ilmu pengetahuan, sehingga setiap kali ia mendengar ada seorang guru atau ulama terkemuka di suatu tempat, dengan serta merta ia berangkat ke sana untuk berguru pada ulama tersebut, walaupun ia harus menempuh jarak yang jauh dan menghabiskan waktu yang lama.

Karena perhatiannya yang besar kepada ilmu, Ibnu Hanbal baru menikah setelah berusia 40 tahun. la menikah pertama kali dengan Aisyah binti Fadl dan dengannya dikaruniai seorang putra bernama Saleh. Setelah istri pertama wafat, ia menikah lagi dengan Raihanah dan dikaruniai pula seorang putra yang bernama Abdullah. Kemudian sepeninggal istri keduanya, ia menikah untuk ketiga kalinya dengan seorang jariyah (hamba perempuan) bernama Husinah, dan dianugerahi lima orang anak, yaitu Zainab, Hasan, Husain, Muham­mad, dan Sa'id.

Imam Hanbali dikenal sangat taat beribadah dan sangat zuhud. Imam Ibrahim bin Hani (se­orang imam fikih dan sahabat Imam Hanbali) mengatakan bahwa dia berpuasa hampir setiap hari dan tidurnya hanya sedikit pada malam hari. Kebanyakan waktunya dipakai untuk salat malam dan salat witir sampai masuk waktu subuh. Pengakuan lain disampaikan oleh putranya, Imam Adullah, "Ayah itu setiap harinya membaca sepertujuh Al-Qur'an dan waktu malam juga sepertujuh Al-Qur'an. Salat isyanya sering kali bersambung de­ngan salat subuhnya."

Selain itu, ia juga masyhur dengan sifat kedermawanannya. la tergolong orang kaya. Setiap kali memperoleh rezeki, ia selalu membaginya kepada orang lain yang dianggap lebih membutuhkan. Ten-tang hal ini Imam Yahya bin Hilal (seorang imam fikih dan sahabat Imam Hanbali) mengemukakan, "Aku pernah datang kepada Imam Hanbali, lalu aku diberinya uang sebanyak empat dirham sambil berkata, 'Ini adalah rezki yang kuperoleh hari ini dan semuanya kuberikan kepadamu.'"

Imam Hanbali mempunyai perhatian yang amat besar terhadap hadis-hadis Nabi SAW. Di mana saja ia mendengar ulama ahli hadis, ia pun mendatanginya untuk mendapatkan hadis daripadanya. Ketekunannya belajar dan meneliti hadis itu pulalah yang kemudian mengantarkannya menjadi ulama hadis yang menghafal ratusan ribu hadis.

Imam Hanbali hidup pada masa pemerintahan Khalifah al-Ma'mun dari Dinasti Abbasiyah. Waktu itu, aliran Muktazilah sedang mengalami masa kejayaannya. Al-Ma'mun menjadikan aliran ini sebagai mazhab resmi negara dan selanjutnya dengan menggunakan kekuasaannya ia memaksakan aliran ini kepada pembesar kerajaan serta tokoh-tokoh masyarakat. Di antara ajaran Muktazilah yang dipaksakan itu adalah paham yang mengatakan bahwa Al-Qur'an itu adalah makhluk atau ciptaan Tuhan. Peristiwa ini disebut mihnah. Peristiwa ini menyebabkan terbunuhnya beberapa ulama terkemuka yang mempertahankan pendiriannya dengan tegas bahwa Al-Qur'an itu bukan makhluk melainkan sabda Allah.

Di antara ulama yang dengan tegas memper­tahankan pendiriannya adalah Imam Hanbali. Bahkan ia kemudian dipandang sebagai pemuka kelompok oposisi yang menentang keinginan penguasa untuk memaksakan paham Muktazilah ini. Karena membangkang terhadap penguasa, Ibnu Hanbal ditangkap dan dikirim menghadap al-Ma'mun di Tarsus. Sebelum sampai ke kota itu, al-Ma'mun wafat dan digantikan oleh putranya al-Mu'tasim yang kemudian memenjarakan Imam Hanbali. Selama dalam penjara, Imam Hanbali mendapat perlakuan yang sangat kejam. Setiap hari ia dicambuk dan dipukul. Walaupun sangat menderita, ia tetap teguh pada keyakinannya. Penganiayaan terhadap Imam Hanbali terus berlangsung sampai masa pemerintahan al-Wasiq, putra al-Mu'tasim. Sikap Ibnu Hanbal yang tegas, teguh dalam memegang prinsip, dan tidak takut mati menimbulkan simpati umat kepadanya, sehingga ia mempunyai banyak pengikut di kalangan umat Islam yang tidak setuju dengan paham Muktazilah.

Setelah al-Wasiq meninggal, ia digantikan oleh al-Mutawakkil. Pada masanyalah Imam Hanbali memperoleh kebebasan. Pada masa al-Mutawakkil ia dihormati dan dimuliakan. Sebagai ulama namanya bertambah harum dan orang-orang pun berdatangan dari berbagai pelosok negeri untuk mendengarkan fatwa dan mendapatkan ilmu daripadanya. Dengan demikian, muridnya pun semakin banyak jumlahnya.

Di antara muridnya yang terkenal ialah Imam Hasan bin Musa, Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Daud, Imam Abu Zur'ah ad-Di-masyqi, Imam Abu Zur'ah ar-Razi, Imam Ibnu Abi ad-Dunia, Imam Abu Bakar al-Asram, Imam Han­bal bin Ishaq asy-Syaibani, Imam Saleh, dan Imam Abdullah. Dua yang tersebut terakhir adalah putranya sendiri yang juga berhasil menjadi ulama besar pada masanya.

Di bidang fikih, prinsip-prinsip yang digunakan Imam Hanbali dalam mengistinbdtkan (menyim-pulkan) suatu hukum adalah (1) nas Al-Qur'an dan hadis sahih, (2) fatwa para sahabat, (3) hadis mursal (bersambung) dan hadis daif (lemah) yang bukan disebabkan kecurigaan akan kebohongan perawinya, dan (4) kias. Dalam menetapkan suatu hukum Imam Hanbali pertama-tama merujuk kepada nas Al-Qur'an dan, jika tidak ditemukannya, ia me­rujuk kepada hadis/sunah Nabi SAW yang sahih. Apabila dalam hadis/sunah sahih tidak ditemukan hukumnya, ia mencarinya dalam fatwa sahabat Nabi SAW yang disepakati. Kalau dalam fatwa itu tidak pula ditemukan, ia mencarinya dalam fatwa sahabat yang masih dalam perselisihan. Jika belum juga ditemukan hukumnya, ia merujuk kepada hadis mursal dan hadis daif. Imam Hanbali lebih mengutamakan hadis daif daripada pemikiran akal (ra'yu). Bila sudah dicari hukumnya dalam hadis mursal dan hadis daif tetapi belum juga ditemukan, barulah ia memakai kias. Kias hanya dipakai dalam keadaan terpaksa (darurat). Prinsip-prinsip inilah yang kemudian dikenal dengan dasar-dasar Mazhab Imam Hanbali.

Kemampuannya dalam bidang hadis terbukti dari kesanggupannya menyusun al-Musnad, yaitu suatu kitab hadis yang menghimpun kurang lebih 40.000 hadis, dan disusun berdasarkan tertib nama sahabat yang meriwayatkannya. Menurut Imam Abdullah bin Ahmad (putra sulung Imam Han­bali), 40.000 hadis yang termuat dalam kitab ini merupakan hadis seleksi dari 700.000 hadis yang dihafal oleh Imam Hanbali. Penelitian Muhammad Abdul Aziz al-Khuli (seorang ulama bahasa yang menulis banyak biografi tokoh-tokoh sahabat dan tabiin) menunjukkan bahwa ada 10.000 hadis yang berulang dalam Musnad Ahmad ibn Hanbal. Jadi jumlah sebenarnya adalah 30.000 hadis. Umumnya hadis-hadis yang terdapat di dalamnya mempunyai derajat sahih dan sedikit sekali yang berderajat daif. Pentingnya buku itu bagi para ulama hadis terlihat dari betapa banyak ulama yang mensyarah isinya, antara lain Imam Abu Amr Muhammad bin Abdul Wahid, Imam Sirajuddin bin Amr bin Ali, Imam Muhammad bin Muhammad al-Jazari, Imam Ali bin Husain bin Urwah, dan Imam Abu Hasan Muhammad bin Abdul Hadi as-Sindi.

Dalam memahami Al-Qur'an Imam Hanbali lebih senang mengambil arti lafal daripada melakukan takwil, terutama terhadap ayat-ayat yang menjelaskan sifat-sifat Tuhan atau ayat-ayat mutasyabihat (mengandung penyerupaan Tuhan de­ngan makhlukNya, seperti Tuhan mempunyai wajah, tangan, dan sebagainya). Imam Hanbali, di samping hafal Al-Qur'an dengan fasih dan lancar, juga mengerti tafsirnya secara mendalam.

Imam Hanbali meninggalkan banyak karya tulis, terutama tentang Al-Qur'an, antara lain Tafsir Al-Qur'an, Kitab an-Nasikh wa al-Mansukh (Kitab mengenai Ayat-Ayat Yang Menghapuskan dan Dihapuskan Hukumnya), Kitab Jawdban Al-Qur'an, Ki­tab al-Muqaddam wa al-Mu'akhkhar  fl  Al-Qur'an (Buku tentang Ayat-Ayat Yang Terdahulu dan Yang Kemudian Diturunkan), Kitab at-Tarikh (Buku Sejarah), Kitab al-Manasikh as-Sagir (Buku Kecil tentang Ayat-Ayat Yang Dihapuskan), Kitab al-Manasikh al-Kabir (Buku Besar tentang Ayat-Ayat Yang Dihapuskan), Kitab al-'Illah (Buku tentang Sebab-Sebab Hukum), Kitab Ta'at at-Rasul (Buku mengenai Ketaatan kepada Rasul), Kitab as-Salah, dan Kitab al Wara' (Buku mengenai Ketakwaan).